Part 3
THE CITY OF DREAM
Tahun 1989 aku berhasil menyelesaikan pendidikan SMP-ku. Aku
sangat bersyukur bisa memiliki ijazah SMP. Karena tiga kakakku semuanya hanya
berijazah SD. Aku yang dilahirkan terakhir merasa banyak memiliki
keberuntungan. Semua kakakku sangat menyayangiku dan mendukungku untuk terus maju. Mereka selalu melihat
aku suka belajar, melukis, dan menulis.
Kegemaranku menulis sudah aku mulai sejak SD kelas enam.Bukan
cerpen maupun puisi yang aku tulis. Tapi surat
cinta. Terlalu muda untukku untuk menulis surat cinta. Karena memang
surat-surat itu bukan untukku. Surat cinta yang aku tulis khusus untuk surat
penolakan kakakku buat para lelaki yang ingin mendekatinya.
Karena waktu itu kakak ketigaku yang hanya lulusan SD sedang menjadi incaran para lelaki (waktu itu
belum ada istilah cowok atau cewek) di desaku. Aku masih ingat nama-nama
mereka. Dari yang paling tua hingga yang paling muda. Tak satupun dari mereka
yang di terima menjadi pacar kakaku. Salah satu diantaranya ada yang sudah
sukses di Jakarta. Ada yang mahasiswa. Ada yang petani. Ada yang supir. Ada
juga yang pengangguran.
Kakakku memang sangat cantik. Banyak yang menyebutnya kembang desa. Makanya banyak kumbang
yang berusaha mendapatkan cintanya. Namun sangat tragis, mereka semua harus mendapatkan surat penolakan yang pernah
aku tulis. Aku berusaha untuk memahami perasaan kakakku yang mungkin waktu itu
belum ada yang sesuai keinginannya. Dalam menuliskan surat penolakan, sangat
dibutuhkan keahlian dan kehati-hatian dalam mengolah kata agar si penerima
surat tidak merasa tersakiti atau terhina dengan penolakan kakakku. Dari
situlah kebiasaan menulisku berlanjut sampai aku SMP.
Di masa SMP aku sudah tidak lagi menulis surat penolakan untuk
kakakku. Aku sudah mulai menulis cerpen. Bukan karena kakakku sudah mendapatkan
lelaki yang diinginkan, tetapi karena dia juga sudah pergi ke Jakarta untuk
merantau dan Alhamdulillah kakakku berhasil mendapatkan pekerjaan di Jakarta.
Menjadi pembantu.Cerpen-cerpenku
sering dibaca kakak-kakakku yang lain dan aku sendiri. Pernah aku kirimkan ke Cerita Minggu Ini RRI Purwokerto waktu
itu. Aku merasakan sangat puas tulisanku di bacakan di acara tersebut.
Kembali pada support kakak-kakaku, mereka sangat mendukungku untuk
melanjutkan sekolah ke SMA. Tak pernah aku pikirkan sebelumnya untuk bisa
sekolah di SMA. Aku seperti bermimpi di siang hari. Hampir semua keluargaku
tidak ada yang sekolah. Aku merasa terlahir menjadi anak yang begitu spesial.
Aku memang dilahirkan untuk dibahagiakan.
“Yo, Kamu anak laki-laki satu-satunya. Kamu harus lebih baik
dari pada kita. Kamu harus maju dan bisa membanggakan orang tua. Kamu harus
sekolah lagi di SMA.” Nasihat kakakkeduaku yang membuatku merinding. Aku ingin
meloncat begitu mendengar kakaku berbicara soal sekolah. Tetapi aku tetap
menahan loncatanku karena aku masih belum sepenuhnya percaya. Apakah ini
benar-benar terjadi padaku?
“Tapi, mbak..” aku merespon. “Aku kasihan Bapak. Dari mana
biayanya?” Sambungku aku ragu dengan kondisi ekonomi orang tuaku.
“Sudahlah, kamu gak usah khawatir. Insyaallah mbak akan bantu.”
Kakakku lebih menegaskan lagi. Dia adalah kakak keduaku yang lumayan sukses
berbisnis. Toko kelontongnya lumayan besar dan laris.
“Iya Yo, kamu yang penting belajar ndak usah mikirin biaya.”
Kata kakakku yang lain. Mereka memang sangat baik. Bapakk Ibuku tidak berkata
apa-apa. Memang mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi aku tahu kalau
merekapun sebenarnya sangat ingin aku sukses.
Di hari pendaftaran SMA dibuka, akupun segera mempersiapkan
segala sesuatunya untuk pendaftaran SMA. Aku mendaftar di SMA terdekat. SMA
PGRI. Satu-satunya SMA yang ada di kota kecamatanku. Dan aku juga tidak pernah
membayangkan untuk sekolah di kota apalagi sekolah favorit. Bagiku bisa sekolah
di SMA sudah merupakan anugerah yang sangat luar biasa yang tuhan berikan
padaku. Lag-lagi aku seperti bermimpi.
Akupun merasa lega setelah semuanya selesai. Aku hanya
membayangkan kalau aku akan memakai seragam putih abu-abu dengan celana satu
tiang penuh. Dan aku menjadi anak SMA. Itu artinya hanya aku seorang diantara
teman-temanku di SD dulu yang melanjutkan sekolah sampai jenjang SMA. Aku
memang lebih beruntung dari teman-temanku. Danu yang anak pintar saja belum tentu
bisa sekolah sampai SMA di Sumatra. Aku hanya bisa berdoa untuknya. Semoga dia
bernasib baik di sana dan menjadi orang sukses.
Karena sampai aku menulis ini pun belum pernah aku dengar kabar
beritanya.
Namun apa hendak dikata,ternyata tuhan mempunyai rencana
berbeda. Cerita pakdheku tentang pekerjaan di Jakarta sangat memprovokasi
otakku untuk berubah pikiran. Aku lebih tergiur dengan iming-iming bahwa aku
akan sukses bila aku berangkat ke Jakarta, bekerja. Gila memang! Otakku yang masih
sangat labil sangat mudah terpengaruh bualan semu. Akupun mengambil keputusan
gila itu. Kakak-kakakku yang tadinya bersemangat tidak bisa berbuat apa-apa
akan keputusanku. Satu yang ada di pikiranku, aku ingin membahagiakan orang
tuaku dengan aku bekerja. Di usiaku yang baru 15 tahun aku harus pergi merantau. Meninggalkan kampung halaman
dan orang tuaku, saudara-saudaraku, serta teman-temanku. Meninggalkan segala
keinginan dan harapan untuk melanjutkan sekolah. Meninggalkan hayalanku untuk
memakai seragam putih abu-abu.
Di hari pertama aku harus masuk sekolah, aku bertolak ke Jakarta,
negeri impianku. Aku seperti bermimpi lagi dan setelah aku sadar ternyata
impianku untuk melanjutkan sekolah berakhir hingga di sini saja. Mungkin ini
sudah menjadi jalan hidupku.Aku yang seolah terhipnotis oleh kejayaan Jakarta
telah mampu melupakan tujuan terpentingku, sekolah.
Akupun berangkat dengan separuh hati. Mataku menatap kosong ke
belakang melihat desaku semakin jauh tak terlihat. Batinku menjerit. Tak sadar
mataku meneteskan air mata ke dadaku hingga mampu membasahi dan merendam semua
angan-anganku. Antara iya dan tidak. Tetapi tekadku sudah mengalahkan segala
kegundahanku.Aku harus merelakan keberatan hatiku meninggalkan kampung halaman
dengan berjuta mimpi dan harapan. Jakarta…ku kan datang.
Keberangkatanku diiringi oleh serombongan keluarga pakdheku dan
juga bapak ibuku yang akan menikahkan putranya di Cikampek Jawa Barat. Sebelum
sampai ke Jakarta aku harus menginap 2 malam di Cikampek ikut merayakan pesta
pernikahan sepupuku.
Saat yang paling memilukan pun tiba. Rombongan keluarga dan
orang tuaku harus berpamitan meninggalkanku seorang diri di kota yang belum aku
kenal. Rencananya besok aku akan di bawa ke Tangerang, kota tempat di mana sepupuku,
mba Kus bekerja. Menjadi pembantu di sana. Untuk sementara aku akan menetap di
rumah majikan mba Kus, sebelum aku mendapatkan pekerjaan. Aku seperti kerbau
dungu yang hanya mengikuti majikannya pergi kemanapun tanpa tahu apa yang akan
aku lakukan. Seorang anak lima belas tahun yang seharusnya hari ini bergembira
dengan teman barunya di SMA.
Semua seakan terasa manis. Bayangan kesuksesan terus
mengikutiku. Angan-anganku untuk melanjutkan sekolah perlahan-lahan menghilang.
Seiring dengungan musik pop Sunda yang mengalunkan nada-nada sendu yang mulai mengusik
di pagi hari pertama aku terjaga. Suara riuh para ibu-ibu penjaja kue terpaksa
membangunkan tidurku di pagi setengah buta. Ternyata rumah di mana aku bermalam
adalah sebuah home industri kueh jajanan. Akupun mulai terbiasa dengan bahasa
Sunda yang cukup mengoyak telinga.
Hari keberangkatanku ke kota Tangerang, kota tetangga Ibukota
itu tiba. Aku berangkat bersama mbak Kus menggunakan jasa bis. Selama
perjalanan menuju Tangerang, aku melihat Jakarta begitu luar biasa, megah
dengan gedung-gedung tinggi seperti yang pernah aku lihat di TV. Anganku pun
mulai melambung dan berkhayal; inikah negeri impianku? Kota tujuan urbanisasi
terbesar di Indonesia. Semua orang pergi ke Jakarta dan sekitarnya untuk tujuan
yang hampir sama_ingin meningkatkan taraf
hidup. Katanya Jakarta mampu mengubah nasib buruk menjadi baik. Jakarta
mampu mengubah kemelaratan menjadi kemakmuran. Jakarta juga bisa menampung
tenaga kerja yang banyak baik yang berpendidikan rendah sampai tinggi. Seperti
sepupukuyang hanya lulusan SD. Itu yang termasuk dikatakan pakdheku sebelum
berangkat.
Udara Jakarta sangat panas cukup membakar kulitku yang semakin
hitam. Wajah penuh harap ini akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Sebuah
rumah ukuran sedang di sebuah perumahan di kawasan Cipondoh Indah Tangerang.
Tempat yang sangat asing bagi seorang pemuda desa belasan tahun yang baru
merambah kota besar.
Kakiku serasa berat untuk menapak masuk ke rumah yang tidak
terlalu besar itu. Aku harus tinggal di rumah ini.Otakku terus bekerja anganku
melayang menerawang menembus batas-batas langit Tangerang yang cukup pekat
dengan awan hitam. Kecemasan mulai menghantuiku. Aku ragu, akankah aku merasa
nyaman tinggal di sini? Apakah orang-orang di dalamnya akan menerimaku? Apakah
aku bisa beradaptasi dengan mereka? Semua ada di otakku dan terus berkecamuk
membayangkan sesuatu yang buruk bakal terjadi. ‘Aku harus siap!’ batinku. Semua
sudah menjadi bagian dari resiko keputusanku.
Di rumah itu, aku diperkenalkan pada seorang ibu pemilik rumah
itu yang tidak lain adalah majikan mbak Kus. Dia adalah ibu Yayah.Menurut
cerita mbak Kus dia adalah seorang pegawai dinas P dan K di kota Tangerang. Aku
tak tahu persis jabatannya di kantor dinas tersebut tapi tampaknya orang ini cukup
berpengaruh. Sehingga banyak tamu datang ke rumahnya. Itulah mengapa pakdheku
mengajakku sampai ke sana, dengan harapan aku bisa bekerja dengan bantuan bu
Yayah. Seorang Majikan yang katanya sangat baik terhadap mba Kus sepupuku yang
jadi pembantunya cukup lama.
Setelah beberapa saat di sana, akupun mulai mengenal seisi
keluarga bu Yahah yang ternyata sangat banyak. Anaknya saja empat. Yang paling
besar masih SD kelas 6 namanya Romi, disusul Deri, Icha, dan Anti. Anti yang
terkecil belum sekolah. Selain anak-anaknya yang masih kecil-kecil, ada juga
seorang keponakan yang sering dipanggil Teteh. Anganku pun mulai berperang
lagi. Bagaimana aku bisa tinggal di rumah seramai ini? Akupun tidak yakin
anak-anaknya serta keponakannya akan bisa menerimaku. Mereka pasti sangat
nakal. Belum si Teteh kelihatan sangat sadis dan cerewet. Bu yayah yang aku
baru kenal juga kelihatan kurang bersahabat.
Setelah beberapa lama hingga sore hari, aku belum melihat bapak
kepala keluarga rumah ini. Ternyata setelah jam 7 malam terdengar suara becak
berhenti di depan rumah. Rupanya Bapak telah pulang. Semua anak-anak berlarian
menjemputnya. Seorang setengah baya sekitar limapuluhan berbadan tinggi besar
dan berkumis agak tebal keluar dari becak. Aku pun bingung dan salah tingkah.
Tetapi dengan segera bu Yayah mengenalkan aku kepada sang bapak. Setelah
berkenalan ternyata bapak orang yang sangat ramah dan hangat.
Duagaanku terhadap keluarga itu ternyata salah. Mereka
memperlakukan aku dengan sangat baik. Anak-anaknya yang aku pikir sebelumnya
nakal-nakal, ternyata mereka sangat baik dan lucu-lucu. Teteh yang tadinya
kelihatan serem dan cerewet juga orang yang sangat baik. Sungguh keluarga yang
sangat baik dan terdidik. Anak-anak begitu menghormati yang lebih tua termasuk
sama aku yang bukan apa-apanya dan berstatus menumpang.
Aku sangat menikmati tinggal di keluarga pak Ramli dan bu Yayah.
Walaupun aku harus tidur beralas tikar di ruang tamu, karena memang tidak ada
ruangan tersisa karena rumah itu sudah penuh orang. Setiap pagi aku bangun
sangat pagi bersamaan dengan mbak Kus. Aku berusaha bekerja sebisaku. Aku harus
sadar diri bahwa aku menumpang.
Setelah menggulung tikar dan membereskan tempat tidurku di
lantai, akupun segera mengambil sapu lidi untuk membersihkan karpet. Kemudian
menyapu dari ruang tengah sampai ruang tamu hingga beranda. Rumah itu tidak
punya halaman yang cukup sehingga aku tidak perlu repot menyapunya. Setelah
selesai akupun mulai mengambil alat pel dan mengepelnya. Di bagian depan rumah
terdapat banyak pot bunga yang harus aku siram di pagi hari dan kadang sore
hari. Itulah rutinitasku sehari-hari di rumah ini. Tapi semua kulakukan dengan
senang hati sebagai balasan kebaikan mereka.
Hari demi hari kulalui dengan rutinitas yang sama. Aku mulai merasa
bosan dengan semua itu. Pekerjaan yang aku impikan pun belum ada bayangannya
apalagi gambaran. Kadang aku sering mengusir kebosanan dengan pergi ke masjid
yang jauhnya sekitar 200 meter dari rumah. Aku tidak pernah melewatkan waktu
sholat di masjid itu. Selain untuk mengusir rasa bosan, di tempat ini aku
pasrahkan semuanya. Aku sering menangis dan memohon jalan keluar. Aku sudah
melewatkan masa sekolahku dengan tujuan yang belum jelas. Aku merasa sangat
bodoh dan nista sekarang. Aku menyesal telah ambil keputusan itu.
Seiring berkumandangnya adzan magrib, aku menyusuri jalan
perumahan menuju masjid. Seperti biasanya aku berhenti sejenak sebelum masuk ke
masjid. Mataku menerawang jauh ke ufuk barat. Di sana aku tampak melihat awan
merah kekuningan oleh semburat sinar mentari yang sebentar lagi tenggelam. Langit
kemerahan itu sama persis dengan langit di desaku yang sering aku lihat di ufuk
barat menjelang magrib. Tak sadar aku menitikkan air mataku di sini. Bapak..Ibu…Aku
ingin pulang. Aku rindu kalian. Kakak.. maafkan adikmu ini. Aku tidak bisa
menunjukan apa-apa padamu.
Sudah setengah bulan lebih aku tinggal di keluarga ini. Hari
demi hari kulalui dengan sangat pelan dan membosankan. Setiap kali aku melihat
anak-anak berpakaian putih abu-abu yang melintas depan rumah, batinku semakin
teriris dan tercabik-cabik. Aku menahan marah pada diriku sendiri. Aku protes!
Aku hanya manusia bodoh yang terdampar di pulau terasing yang siap menelan
impianku.
Suatu malam, aku mencoba keluar rumah ditemani mba Kus dan
temannya pembantu tetangga sebelah untuk mencari hiburan. Mereka mengajakku
menonton layar tancap di kampung luar perumahan. Akupun berangkat dengan mereka
untuk bisa mengobati kegalauanku.
Film pertama selesai di putar, masih berlanjut film kedua. Mba
Kus dan temannya mengajakku pulang tapi aku memilih untuk melihat film kedua
sampai selesai. Selesai menonton film aku pun pulang sendiri dengan orang-orang
kampung yang lain. Sampai di rumah, pintu sudah terkunci dan akupun tidak
berani membunyikan bel karena sudah terlalu malam. Aku takut keluarga pak Ramli
terbangun. Akhirnya akupun melompat pagar dan tidur di lorong emper rumah. Begitu
adzan shubuh tiba akupun langsung bertolak ke masjid. Habis shubuh aku pulang dan
mba Kus mulai menginterogasiku. Dia sangat menyesal aku tidak bisa masuk ke
rumah dan harus tidur bersama nyamuk-nyamuk di lorong.
. Hingga tibalah saatnya akupun harus pulang kembalike kampung
halamanku setelah sekitar satu bulan aku tinggal di keluarga bu Yayah. Aku merasa
sudah sangat merepotkan mereka. Kebaikan mereka semakin menjadi beban
perasaanku sebagai seorang yang berstatus menumpang. Pekerjaan yang aku impikan
belum sempat aku peroleh walaupun beberapa lamaran sudah aku layangkan ke
beberapa pabrik di Tangerang. Rupanya kesabaranku tidak lolos ujiuntuk menunggu
jawaban yang belum tahu batas waktunya. Mungkin aku masih terlalu kecil dan cengeng
hingga aku menulis surat ke bapakku di desa untuk menjemputku. Ibu dan kakakku
di rumah pun rupanya sangat menghawatirkan keberadaanku sehingga mereka sangat
mendesak bapak untuk segera menjemputku pulang.
Akhirnya dapat kuhirup kembali hembusan angin yang masih menerbangkan
debu dan daun kering di akhir musim kemarau di desa. Tak ada yang berubah.
Kegersangan dan bau panas bumi masih terasa menusuk. Ibuku begitu mengerti
kalau kegersangan juga tampak di raut mukaku. Dia melihatku seperti pemuda yang
telah kehilangan harapan.
“Sudahlah Yo, kamu harus sabar. Kamu memang masih terlalu kecil
dan belum saatnya merantau.” Ujar ibuku menghibur. “Katanya kamu pengin
sekolah?” Lanjutnya.
“Aku gak tahu bu, apakah aku masih ingin sekolah atau tidak.”
Jawabku masih menyembunyikan keinginanku. Sejujurnya hati kecilku terus
meneriakkan bahwa aku tidak pernah berhentibermimpi untuk sekolah . Sekolah
setinggi-tingginya memang sudah menjadi impianku yang tak pernah padam. Aku
tidak mau seperti kakak-kakakku. Aku ingin lebih baik dari mereka. Aku ingin
merubah image orang kalau di desaku
juga ada yang sekolah lebih dari sekedar lulus SD. Aku ingin berbeda dengan
anak-anak lain di desa.
“Lho kok nyerah, Yo. Kan masih ada kesempatan tahun depan.”
Desak ibuku tetap menyemangatiku. Walaupun aku yakin kalau dia sendiri gak
yakin.
Ditengah ketidakpastianku, seorang family datang menawarkan
untuk pergi bekerja di Jakarta kembali. Kali ini aku sudah semakin dewasa.
Keinginan sekolah saat itu sudah tidak aku pikirkan lagi. Akhirnya aku putuskan
kembali untuk ikut saudaraku kerja di Jakarta.
Kali ini aku benar-benar bekerja di Jakarta. Tanpa harus repot membuat
surat lamaran maupun wawancara, akupun langsung diterima bekerja di sebuah perusahaan
tepatnya pabrik yang memproduksi sabun, shampoo, dan sejenisnya. Beberapa
mereknya yang kutahu metal fortis. Kalau
tidak salah dengar namanya PT. Kirindo.
Aku bekerja dan tinggal di gedung berlantai empat. Ada sekitar
kurang lebih dua puluh pekerja baik laki-laki maupun perempuan. Diantara mereka
rata-rata berijazah SD bahkan ada yang tidak lulus SD.Dan aku satu-satunya
pekerja yang berpendidikan paling tinggi, SMP. Rupanya tingkat pendidikan tidak
begitu berarti untuk bisa bekerja di
sana. Bahkan mas Ana, yang juga hanya lulusan SD sudah menjadi orang
kepercayaan pemilik usaha tersebut.
Kami semua bekerja, makan, dan tinggal di gedung itu. Setiap
hari kami bangun sangat pagi untuk bersiap-siap dan mulai aktivitas kerja jam
07.00 pagi. Jam kerja kami cukup panjang. Dari jam 07.00 kemudian berhenti
istirahat jam 12.00. Jam 13.00 kami sudah harus berada di tempat kerja lagi hingga
jam 17.00. Habis magrib jam 19.00 kami harus sudah siap di tempat kerja lagi
hingga jam 21.00. Setelah itu kami baru bisa merasakan yang namaya istirahat.
Melelahkan memang. Sebelas jam setiap hari aku bekerja dengan gaji Rp. 30.000 per
bulan waktu itu.
Hari Minggu merupakan hari yang dinanti-nanti. Karena
satu-satunya hari libur yang kami miliki. Namun di hari minggu ini kami tidak
bisa melakukan aktivitas liburan menikmati jalan-jalan kota Jakarta. Kami harus
tetap berada di dalam gedung. Kami seperti ikan-ikan yang berada di aquarium
atau burung piaraan yang tetap di dalam sangkar. Hanya ada satu cara untuk bisa
keluar menghirup udara Jakarta. Kami harus bergiliran keluar gedung maksimal
dua orang setiap kali keluar. Hal ini cukup membuat aku penasaran. Setelah aku
tahu ternyata pabrik di mana aku bekerja masih berstatus ILEGAL atau belum
berijin usaha. Tetapi apalah dayaku, aku tidak bisa berbuat apa-apa hanya tetap
bekerja. Aku tidak mau gagal yang kedua kalinya. Aku tidak boleh cengeng lagi
seperti dulu. Aku harus bisa menunjukan bahwa aku bisa berhasil di Jakarta. Aku
pun tetap bertahan.
Seperti hari-hari biasanya, jam tujuh tepat kami sudah berada di
ruang kerja. Ruang kerja kami berada di lantai tiga. Dimana di situ ada
beberapa meja panjang dan kursi kursi tempat duduk kami untuk beraktifitas
layaknya sebuah tempat makan perasmanan di bedeng tentara yang sedang latihan
perang. Di depan tempat duduk kami sudah tersedia tumpukan kertas label shampoo
dan botol kertas yang dilapisi aluminium voil yang siap di tempel dengan label
kertas secara manual. Tugasku adalah menempel label-label tadi di botol
berbentuk tabung lurus yang masih polos dan sudah berisi shampoo. Aku harus
mengerjakan dengan sangat hati-hati karena kalau menceng sedikit artinya
kerjaku akan dinilai kurang teliti. Kerja kami tidak luput dari pengawasan Koh
Achin yang berwajah garang dan pelit senyum. Walaupun tidak memakai kekerasan
fisik kadang kata-katanya sering membuat kami sakit hati dan mengumpat di waktu
istirahat.
Kerja kami dibagi menjadi dua bagian. Di bagian lain di lantai
dua, beberapa temanku ada yang siap membungkus sabun-sabun dengan kertas label
sabun yang tersedia. Sabun yang kami kemas dengan label itu bentuknya bulat
pipih seperti gula merah dan katanya harganya sangat mahal.Kami juga tidak tahu
di mana sabun-sabun itu diproduksi.
Saat yang paling melelahkan dan menyebalkan di mana kami harus
membuat shampoo. Pekerjaan ini sering dilakukan di tengah malam hari di mana
kami sedang mengantuk setelah lelah bekerja seharian hingga malam. Walaupan
pekerjaan ini dikerjakan beberapa malam sekali tetapi ini sangat menyiksa. Kami
harus bergelut dengan beberapa bahan shampaoo dan zat kimia yang harus diaduk
menjadi satu di sebuah drum besar. Tugas kami adalah mengaduk dengan kayu besar
hingga rata sesuai aturan yang tepat. Karena kelelahan di malam hari, pekerjaan
mengelem dan menempel sering terjadi kesalahan karena mata kami tidak bisa
menahan kantuk. Disitulah kami menjadi bahan kemarahan Koh Achin. Saat yang
paling menyebalkan. Kalau saja waktu badanku cukup besar ingin rasanya kutonjok
dia hingga terkapar.
Hingga pada suatu sore, saudara sepupuku yang baru pulang dari
kampung membawakan sepucuk surat dari Bapak di desa. Aku segera membuka amplop
karena rasa kangen yang sudah tak tertahankan. Akupun senyum-senyum sendiri
membaca surat itu. Namun ada sebuah kalimat yang cukup membuatku terkejut dan
sekaligus gembira. “Yo, kamu harus segera pulang.” Kata Bapakku di surat. “Bapak
sudah daftarkan kamu di SMA, kamu harus sekolah lagi, Yo.” Aku melanjutkan
kata-kata bapak yang sangat membuatku tak percaya dan tak sadar menitikkan air
mata. Belakangan aku tahu bapakku telah di semprot habis-habisan oleh salah
seorang saudara di desa karena telah membiarkan anak laki-laki satu-satunya
bekerja di Jakarta hanya menjadi buruh pabrik.
“Anakmu itu anak pinter, Mar. Kamu kok tega membiarkan anak
laki-lakimu kerja di pabrik. Anakmu harus sekolah lagi.” Kata-kata itulah yang
membuat bapak segera melayangkan surat untukku dan akhirnya akupun harus
berpamitan dengan pak Andi bosku dan tentunya teman-teman seperjuanganku di Kirindo.
“Udahlah Yo, pulanglah, memang tempat kamu bukan di sini. Kamu
harus sukses.” Kata Atmo teman terbaikku.
“Kamu beruntung Yo bisa sekolah tinggi. Kamu pasti akan jadi
orang sukses. Cukup kita saja yang seperti ini.” Mas Ana menambahkan doa
terbaiknya. Membuat air mataku kian jatuh tak tertahankan. Mereka memang
teman-teman seperjuanganku yang sangat baik. Aku hanya berfikir semoga mereka
mendapatkan kesuksesan walaupun tanpa harus bersekolah tinggi. Mereka
orang-orang rajin yang akan mendapatkan balasan dari keuletannya bekerja. Yaitu
kesuksesan.