Jumat, 16 Agustus 2013

Part 3 : THE CITY OF DREAM




Part 3
THE CITY OF DREAM

Tahun 1989 aku berhasil menyelesaikan pendidikan SMP-ku. Aku sangat bersyukur bisa memiliki ijazah SMP. Karena tiga kakakku semuanya hanya berijazah SD. Aku yang dilahirkan terakhir merasa banyak memiliki keberuntungan. Semua kakakku sangat menyayangiku dan  mendukungku untuk terus maju. Mereka selalu melihat aku suka belajar, melukis, dan menulis.
Kegemaranku menulis sudah aku mulai sejak SD kelas enam.Bukan cerpen maupun puisi yang aku tulis. Tapi surat cinta. Terlalu muda untukku untuk menulis surat cinta. Karena memang surat-surat itu bukan untukku. Surat cinta yang aku tulis khusus untuk surat penolakan kakakku buat para lelaki yang ingin mendekatinya.
Karena waktu itu kakak ketigaku yang hanya lulusan SD  sedang menjadi incaran para lelaki (waktu itu belum ada istilah cowok atau cewek) di desaku. Aku masih ingat nama-nama mereka. Dari yang paling tua hingga yang paling muda. Tak satupun dari mereka yang di terima menjadi pacar kakaku. Salah satu diantaranya ada yang sudah sukses di Jakarta. Ada yang mahasiswa. Ada yang petani. Ada yang supir. Ada juga yang pengangguran.
Kakakku memang sangat cantik. Banyak yang menyebutnya kembang desa. Makanya banyak kumbang yang berusaha mendapatkan cintanya. Namun sangat tragis, mereka semua  harus mendapatkan surat penolakan yang pernah aku tulis. Aku berusaha untuk memahami perasaan kakakku yang mungkin waktu itu belum ada yang sesuai keinginannya. Dalam menuliskan surat penolakan, sangat dibutuhkan keahlian dan kehati-hatian dalam mengolah kata agar si penerima surat tidak merasa tersakiti atau terhina dengan penolakan kakakku. Dari situlah kebiasaan menulisku berlanjut sampai aku SMP.
Di masa SMP aku sudah tidak lagi menulis surat penolakan untuk kakakku. Aku sudah mulai menulis cerpen. Bukan karena kakakku sudah mendapatkan lelaki yang diinginkan, tetapi karena dia juga sudah pergi ke Jakarta untuk merantau dan Alhamdulillah kakakku berhasil mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Menjadi pembantu.Cerpen-cerpenku sering dibaca kakak-kakakku yang lain dan aku sendiri. Pernah aku kirimkan ke Cerita Minggu Ini RRI Purwokerto waktu itu. Aku merasakan sangat puas tulisanku di bacakan di acara tersebut. 
Kembali pada support kakak-kakaku, mereka sangat mendukungku untuk melanjutkan sekolah ke SMA. Tak pernah aku pikirkan sebelumnya untuk bisa sekolah di SMA. Aku seperti bermimpi di siang hari. Hampir semua keluargaku tidak ada yang sekolah. Aku merasa terlahir menjadi anak yang begitu spesial. Aku memang dilahirkan untuk dibahagiakan.
“Yo, Kamu anak laki-laki satu-satunya. Kamu harus lebih baik dari pada kita. Kamu harus maju dan bisa membanggakan orang tua. Kamu harus sekolah lagi di SMA.” Nasihat kakakkeduaku yang membuatku merinding. Aku ingin meloncat begitu mendengar kakaku berbicara soal sekolah. Tetapi aku tetap menahan loncatanku karena aku masih belum sepenuhnya percaya. Apakah ini benar-benar terjadi padaku?
“Tapi, mbak..” aku merespon. “Aku kasihan Bapak. Dari mana biayanya?” Sambungku aku ragu dengan kondisi ekonomi orang tuaku.
“Sudahlah, kamu gak usah khawatir. Insyaallah mbak akan bantu.” Kakakku lebih menegaskan lagi. Dia adalah kakak keduaku yang lumayan sukses berbisnis. Toko kelontongnya lumayan besar dan laris.
“Iya Yo, kamu yang penting belajar ndak usah mikirin biaya.” Kata kakakku yang lain. Mereka memang sangat baik. Bapakk Ibuku tidak berkata apa-apa. Memang mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi aku tahu kalau merekapun sebenarnya sangat ingin aku sukses.
Di hari pendaftaran SMA dibuka, akupun segera mempersiapkan segala sesuatunya untuk pendaftaran SMA. Aku mendaftar di SMA terdekat. SMA PGRI. Satu-satunya SMA yang ada di kota kecamatanku. Dan aku juga tidak pernah membayangkan untuk sekolah di kota apalagi sekolah favorit. Bagiku bisa sekolah di SMA sudah merupakan anugerah yang sangat luar biasa yang tuhan berikan padaku. Lag-lagi aku seperti bermimpi.
Akupun merasa lega setelah semuanya selesai. Aku hanya membayangkan kalau aku akan memakai seragam putih abu-abu dengan celana satu tiang penuh. Dan aku menjadi anak SMA. Itu artinya hanya aku seorang diantara teman-temanku di SD dulu yang melanjutkan sekolah sampai jenjang SMA. Aku memang lebih beruntung dari teman-temanku. Danu yang anak pintar saja belum tentu bisa sekolah sampai SMA di Sumatra. Aku hanya bisa berdoa untuknya. Semoga dia bernasib baik di sana dan menjadi orang sukses.  Karena sampai aku menulis ini pun belum pernah aku dengar kabar beritanya.
Namun apa hendak dikata,ternyata tuhan mempunyai rencana berbeda. Cerita pakdheku tentang pekerjaan di Jakarta sangat memprovokasi otakku untuk berubah pikiran. Aku lebih tergiur dengan iming-iming bahwa aku akan sukses bila aku berangkat ke Jakarta, bekerja. Gila memang! Otakku yang masih sangat labil sangat mudah terpengaruh bualan semu. Akupun mengambil keputusan gila itu. Kakak-kakakku yang tadinya bersemangat tidak bisa berbuat apa-apa akan keputusanku. Satu yang ada di pikiranku, aku ingin membahagiakan orang tuaku dengan aku bekerja. Di usiaku yang baru 15 tahun aku harus pergi merantau. Meninggalkan kampung halaman dan orang tuaku, saudara-saudaraku, serta teman-temanku. Meninggalkan segala keinginan dan harapan untuk melanjutkan sekolah. Meninggalkan hayalanku untuk memakai seragam putih abu-abu.
Di hari pertama aku harus masuk sekolah, aku bertolak ke Jakarta, negeri impianku. Aku seperti bermimpi lagi dan setelah aku sadar ternyata impianku untuk melanjutkan sekolah berakhir hingga di sini saja. Mungkin ini sudah menjadi jalan hidupku.Aku yang seolah terhipnotis oleh kejayaan Jakarta telah mampu melupakan tujuan terpentingku, sekolah.
Akupun berangkat dengan separuh hati. Mataku menatap kosong ke belakang melihat desaku semakin jauh tak terlihat. Batinku menjerit. Tak sadar mataku meneteskan air mata ke dadaku hingga mampu membasahi dan merendam semua angan-anganku. Antara iya dan tidak. Tetapi tekadku sudah mengalahkan segala kegundahanku.Aku harus merelakan keberatan hatiku meninggalkan kampung halaman dengan berjuta mimpi dan harapan. Jakarta…ku kan datang.
Keberangkatanku diiringi oleh serombongan keluarga pakdheku dan juga bapak ibuku yang akan menikahkan putranya di Cikampek Jawa Barat. Sebelum sampai ke Jakarta aku harus menginap 2 malam di Cikampek ikut merayakan pesta pernikahan sepupuku.
Saat yang paling memilukan pun tiba. Rombongan keluarga dan orang tuaku harus berpamitan meninggalkanku seorang diri di kota yang belum aku kenal. Rencananya besok aku akan di bawa ke Tangerang, kota tempat di mana sepupuku, mba Kus bekerja. Menjadi pembantu di sana. Untuk sementara aku akan menetap di rumah majikan mba Kus, sebelum aku mendapatkan pekerjaan. Aku seperti kerbau dungu yang hanya mengikuti majikannya pergi kemanapun tanpa tahu apa yang akan aku lakukan. Seorang anak lima belas tahun yang seharusnya hari ini bergembira dengan teman barunya di SMA.
Semua seakan terasa manis. Bayangan kesuksesan terus mengikutiku. Angan-anganku untuk melanjutkan sekolah perlahan-lahan menghilang. Seiring dengungan musik pop Sunda yang mengalunkan nada-nada sendu yang mulai mengusik di pagi hari pertama aku terjaga. Suara riuh para ibu-ibu penjaja kue terpaksa membangunkan tidurku di pagi setengah buta. Ternyata rumah di mana aku bermalam adalah sebuah home industri kueh jajanan. Akupun mulai terbiasa dengan bahasa Sunda yang cukup mengoyak telinga.
Hari keberangkatanku ke kota Tangerang, kota tetangga Ibukota itu tiba. Aku berangkat bersama mbak Kus menggunakan jasa bis. Selama perjalanan menuju Tangerang, aku melihat Jakarta begitu luar biasa, megah dengan gedung-gedung tinggi seperti yang pernah aku lihat di TV. Anganku pun mulai melambung dan berkhayal; inikah negeri impianku? Kota tujuan urbanisasi terbesar di Indonesia. Semua orang pergi ke Jakarta dan sekitarnya untuk tujuan yang hampir sama_ingin meningkatkan taraf hidup. Katanya Jakarta mampu mengubah nasib buruk menjadi baik. Jakarta mampu mengubah kemelaratan menjadi kemakmuran. Jakarta juga bisa menampung tenaga kerja yang banyak baik yang berpendidikan rendah sampai tinggi. Seperti sepupukuyang hanya lulusan SD. Itu yang termasuk dikatakan pakdheku sebelum berangkat.
Udara Jakarta sangat panas cukup membakar kulitku yang semakin hitam. Wajah penuh harap ini akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Sebuah rumah ukuran sedang di sebuah perumahan di kawasan Cipondoh Indah Tangerang. Tempat yang sangat asing bagi seorang pemuda desa belasan tahun yang baru merambah kota besar.
Kakiku serasa berat untuk menapak masuk ke rumah yang tidak terlalu besar itu. Aku harus tinggal di rumah ini.Otakku terus bekerja anganku melayang menerawang menembus batas-batas langit Tangerang yang cukup pekat dengan awan hitam. Kecemasan mulai menghantuiku. Aku ragu, akankah aku merasa nyaman tinggal di sini? Apakah orang-orang di dalamnya akan menerimaku? Apakah aku bisa beradaptasi dengan mereka? Semua ada di otakku dan terus berkecamuk membayangkan sesuatu yang buruk bakal terjadi. ‘Aku harus siap!’ batinku. Semua sudah menjadi bagian dari resiko keputusanku.
Di rumah itu, aku diperkenalkan pada seorang ibu pemilik rumah itu yang tidak lain adalah majikan mbak Kus. Dia adalah ibu Yayah.Menurut cerita mbak Kus dia adalah seorang pegawai dinas P dan K di kota Tangerang. Aku tak tahu persis jabatannya di kantor dinas tersebut tapi tampaknya orang ini cukup berpengaruh. Sehingga banyak tamu datang ke rumahnya. Itulah mengapa pakdheku mengajakku sampai ke sana, dengan harapan aku bisa bekerja dengan bantuan bu Yayah. Seorang Majikan yang katanya sangat baik terhadap mba Kus sepupuku yang jadi pembantunya cukup lama.
Setelah beberapa saat di sana, akupun mulai mengenal seisi keluarga bu Yahah yang ternyata sangat banyak. Anaknya saja empat. Yang paling besar masih SD kelas 6 namanya Romi, disusul Deri, Icha, dan Anti. Anti yang terkecil belum sekolah. Selain anak-anaknya yang masih kecil-kecil, ada juga seorang keponakan yang sering dipanggil Teteh. Anganku pun mulai berperang lagi. Bagaimana aku bisa tinggal di rumah seramai ini? Akupun tidak yakin anak-anaknya serta keponakannya akan bisa menerimaku. Mereka pasti sangat nakal. Belum si Teteh kelihatan sangat sadis dan cerewet. Bu yayah yang aku baru kenal juga kelihatan kurang bersahabat.
Setelah beberapa lama hingga sore hari, aku belum melihat bapak kepala keluarga rumah ini. Ternyata setelah jam 7 malam terdengar suara becak berhenti di depan rumah. Rupanya Bapak telah pulang. Semua anak-anak berlarian menjemputnya. Seorang setengah baya sekitar limapuluhan berbadan tinggi besar dan berkumis agak tebal keluar dari becak. Aku pun bingung dan salah tingkah. Tetapi dengan segera bu Yayah mengenalkan aku kepada sang bapak. Setelah berkenalan ternyata bapak orang yang sangat ramah dan hangat.
Duagaanku terhadap keluarga itu ternyata salah. Mereka memperlakukan aku dengan sangat baik. Anak-anaknya yang aku pikir sebelumnya nakal-nakal, ternyata mereka sangat baik dan lucu-lucu. Teteh yang tadinya kelihatan serem dan cerewet juga orang yang sangat baik. Sungguh keluarga yang sangat baik dan terdidik. Anak-anak begitu menghormati yang lebih tua termasuk sama aku yang bukan apa-apanya dan berstatus menumpang.
Aku sangat menikmati tinggal di keluarga pak Ramli dan bu Yayah. Walaupun aku harus tidur beralas tikar di ruang tamu, karena memang tidak ada ruangan tersisa karena rumah itu sudah penuh orang. Setiap pagi aku bangun sangat pagi bersamaan dengan mbak Kus. Aku berusaha bekerja sebisaku. Aku harus sadar diri bahwa aku menumpang.
Setelah menggulung tikar dan membereskan tempat tidurku di lantai, akupun segera mengambil sapu lidi untuk membersihkan karpet. Kemudian menyapu dari ruang tengah sampai ruang tamu hingga beranda. Rumah itu tidak punya halaman yang cukup sehingga aku tidak perlu repot menyapunya. Setelah selesai akupun mulai mengambil alat pel dan mengepelnya. Di bagian depan rumah terdapat banyak pot bunga yang harus aku siram di pagi hari dan kadang sore hari. Itulah rutinitasku sehari-hari di rumah ini. Tapi semua kulakukan dengan senang hati sebagai balasan kebaikan mereka.
Hari demi hari kulalui dengan rutinitas yang sama. Aku mulai merasa bosan dengan semua itu. Pekerjaan yang aku impikan pun belum ada bayangannya apalagi gambaran. Kadang aku sering mengusir kebosanan dengan pergi ke masjid yang jauhnya sekitar 200 meter dari rumah. Aku tidak pernah melewatkan waktu sholat di masjid itu. Selain untuk mengusir rasa bosan, di tempat ini aku pasrahkan semuanya. Aku sering menangis dan memohon jalan keluar. Aku sudah melewatkan masa sekolahku dengan tujuan yang belum jelas. Aku merasa sangat bodoh dan nista sekarang. Aku menyesal telah ambil keputusan itu.
Seiring berkumandangnya adzan magrib, aku menyusuri jalan perumahan menuju masjid. Seperti biasanya aku berhenti sejenak sebelum masuk ke masjid. Mataku menerawang jauh ke ufuk barat. Di sana aku tampak melihat awan merah kekuningan oleh semburat sinar mentari yang sebentar lagi tenggelam. Langit kemerahan itu sama persis dengan langit di desaku yang sering aku lihat di ufuk barat menjelang magrib. Tak sadar aku menitikkan air mataku di sini. Bapak..Ibu…Aku ingin pulang. Aku rindu kalian. Kakak.. maafkan adikmu ini. Aku tidak bisa menunjukan apa-apa padamu.
Sudah setengah bulan lebih aku tinggal di keluarga ini. Hari demi hari kulalui dengan sangat pelan dan membosankan. Setiap kali aku melihat anak-anak berpakaian putih abu-abu yang melintas depan rumah, batinku semakin teriris dan tercabik-cabik. Aku menahan marah pada diriku sendiri. Aku protes! Aku hanya manusia bodoh yang terdampar di pulau terasing yang siap menelan impianku. 
Suatu malam, aku mencoba keluar rumah ditemani mba Kus dan temannya pembantu tetangga sebelah untuk mencari hiburan. Mereka mengajakku menonton layar tancap di kampung luar perumahan. Akupun berangkat dengan mereka untuk bisa mengobati kegalauanku.
Film pertama selesai di putar, masih berlanjut film kedua. Mba Kus dan temannya mengajakku pulang tapi aku memilih untuk melihat film kedua sampai selesai. Selesai menonton film aku pun pulang sendiri dengan orang-orang kampung yang lain. Sampai di rumah, pintu sudah terkunci dan akupun tidak berani membunyikan bel karena sudah terlalu malam. Aku takut keluarga pak Ramli terbangun. Akhirnya akupun melompat pagar dan tidur di lorong emper rumah. Begitu adzan shubuh tiba akupun langsung bertolak ke masjid. Habis shubuh aku pulang dan mba Kus mulai menginterogasiku. Dia sangat menyesal aku tidak bisa masuk ke rumah dan harus tidur bersama nyamuk-nyamuk di lorong.
. Hingga tibalah saatnya akupun harus pulang kembalike kampung halamanku setelah sekitar satu bulan aku tinggal di keluarga bu Yayah. Aku merasa sudah sangat merepotkan mereka. Kebaikan mereka semakin menjadi beban perasaanku sebagai seorang yang berstatus menumpang. Pekerjaan yang aku impikan belum sempat aku peroleh walaupun beberapa lamaran sudah aku layangkan ke beberapa pabrik di Tangerang. Rupanya kesabaranku tidak lolos ujiuntuk menunggu jawaban yang belum tahu batas waktunya. Mungkin aku masih terlalu kecil dan cengeng hingga aku menulis surat ke bapakku di desa untuk menjemputku. Ibu dan kakakku di rumah pun rupanya sangat menghawatirkan keberadaanku sehingga mereka sangat mendesak bapak untuk segera menjemputku pulang.
Akhirnya dapat kuhirup kembali hembusan angin yang masih menerbangkan debu dan daun kering di akhir musim kemarau di desa. Tak ada yang berubah. Kegersangan dan bau panas bumi masih terasa menusuk. Ibuku begitu mengerti kalau kegersangan juga tampak di raut mukaku. Dia melihatku seperti pemuda yang telah kehilangan harapan.
“Sudahlah Yo, kamu harus sabar. Kamu memang masih terlalu kecil dan belum saatnya merantau.” Ujar ibuku menghibur. “Katanya kamu pengin sekolah?” Lanjutnya.
“Aku gak tahu bu, apakah aku masih ingin sekolah atau tidak.” Jawabku masih menyembunyikan keinginanku. Sejujurnya hati kecilku terus meneriakkan bahwa aku tidak pernah berhentibermimpi untuk sekolah . Sekolah setinggi-tingginya memang sudah menjadi impianku yang tak pernah padam. Aku tidak mau seperti kakak-kakakku. Aku ingin lebih baik dari mereka. Aku ingin merubah image orang kalau di desaku juga ada yang sekolah lebih dari sekedar lulus SD. Aku ingin berbeda dengan anak-anak lain di desa.
“Lho kok nyerah, Yo. Kan masih ada kesempatan tahun depan.” Desak ibuku tetap menyemangatiku. Walaupun aku yakin kalau dia sendiri gak yakin.
Ditengah ketidakpastianku, seorang family datang menawarkan untuk pergi bekerja di Jakarta kembali. Kali ini aku sudah semakin dewasa. Keinginan sekolah saat itu sudah tidak aku pikirkan lagi. Akhirnya aku putuskan kembali untuk ikut saudaraku kerja di Jakarta.
Kali ini aku benar-benar bekerja di Jakarta. Tanpa harus repot membuat surat lamaran maupun wawancara, akupun langsung diterima bekerja di sebuah perusahaan tepatnya pabrik yang memproduksi sabun, shampoo, dan sejenisnya. Beberapa mereknya yang kutahu metal fortis. Kalau tidak salah dengar namanya PT. Kirindo.
Aku bekerja dan tinggal di gedung berlantai empat. Ada sekitar kurang lebih dua puluh pekerja baik laki-laki maupun perempuan. Diantara mereka rata-rata berijazah SD bahkan ada yang tidak lulus SD.Dan aku satu-satunya pekerja yang berpendidikan paling tinggi, SMP. Rupanya tingkat pendidikan tidak begitu berarti  untuk bisa bekerja di sana. Bahkan mas Ana, yang juga hanya lulusan SD sudah menjadi orang kepercayaan pemilik usaha tersebut.
Kami semua bekerja, makan, dan tinggal di gedung itu. Setiap hari kami bangun sangat pagi untuk bersiap-siap dan mulai aktivitas kerja jam 07.00 pagi. Jam kerja kami cukup panjang. Dari jam 07.00 kemudian berhenti istirahat jam 12.00. Jam 13.00 kami sudah harus berada di tempat kerja lagi hingga jam 17.00. Habis magrib jam 19.00 kami harus sudah siap di tempat kerja lagi hingga jam 21.00. Setelah itu kami baru bisa merasakan yang namaya istirahat. Melelahkan memang. Sebelas jam setiap hari aku bekerja dengan gaji Rp. 30.000 per bulan waktu itu.
Hari Minggu merupakan hari yang dinanti-nanti. Karena satu-satunya hari libur yang kami miliki. Namun di hari minggu ini kami tidak bisa melakukan aktivitas liburan menikmati jalan-jalan kota Jakarta. Kami harus tetap berada di dalam gedung. Kami seperti ikan-ikan yang berada di aquarium atau burung piaraan yang tetap di dalam sangkar. Hanya ada satu cara untuk bisa keluar menghirup udara Jakarta. Kami harus bergiliran keluar gedung maksimal dua orang setiap kali keluar. Hal ini cukup membuat aku penasaran. Setelah aku tahu ternyata pabrik di mana aku bekerja masih berstatus ILEGAL atau belum berijin usaha. Tetapi apalah dayaku, aku tidak bisa berbuat apa-apa hanya tetap bekerja. Aku tidak mau gagal yang kedua kalinya. Aku tidak boleh cengeng lagi seperti dulu. Aku harus bisa menunjukan bahwa aku bisa berhasil di Jakarta. Aku pun tetap bertahan.
Seperti hari-hari biasanya, jam tujuh tepat kami sudah berada di ruang kerja. Ruang kerja kami berada di lantai tiga. Dimana di situ ada beberapa meja panjang dan kursi kursi tempat duduk kami untuk beraktifitas layaknya sebuah tempat makan perasmanan di bedeng tentara yang sedang latihan perang. Di depan tempat duduk kami sudah tersedia tumpukan kertas label shampoo dan botol kertas yang dilapisi aluminium voil yang siap di tempel dengan label kertas secara manual. Tugasku adalah menempel label-label tadi di botol berbentuk tabung lurus yang masih polos dan sudah berisi shampoo. Aku harus mengerjakan dengan sangat hati-hati karena kalau menceng sedikit artinya kerjaku akan dinilai kurang teliti. Kerja kami tidak luput dari pengawasan Koh Achin yang berwajah garang dan pelit senyum. Walaupun tidak memakai kekerasan fisik kadang kata-katanya sering membuat kami sakit hati dan mengumpat di waktu istirahat. 
Kerja kami dibagi menjadi dua bagian. Di bagian lain di lantai dua, beberapa temanku ada yang siap membungkus sabun-sabun dengan kertas label sabun yang tersedia. Sabun yang kami kemas dengan label itu bentuknya bulat pipih seperti gula merah dan katanya harganya sangat mahal.Kami juga tidak tahu di mana sabun-sabun itu diproduksi.
Saat yang paling melelahkan dan menyebalkan di mana kami harus membuat shampoo. Pekerjaan ini sering dilakukan di tengah malam hari di mana kami sedang mengantuk setelah lelah bekerja seharian hingga malam. Walaupan pekerjaan ini dikerjakan beberapa malam sekali tetapi ini sangat menyiksa. Kami harus bergelut dengan beberapa bahan shampaoo dan zat kimia yang harus diaduk menjadi satu di sebuah drum besar. Tugas kami adalah mengaduk dengan kayu besar hingga rata sesuai aturan yang tepat. Karena kelelahan di malam hari, pekerjaan mengelem dan menempel sering terjadi kesalahan karena mata kami tidak bisa menahan kantuk. Disitulah kami menjadi bahan kemarahan Koh Achin. Saat yang paling menyebalkan. Kalau saja waktu badanku cukup besar ingin rasanya kutonjok dia hingga terkapar.
Hingga pada suatu sore, saudara sepupuku yang baru pulang dari kampung membawakan sepucuk surat dari Bapak di desa. Aku segera membuka amplop karena rasa kangen yang sudah tak tertahankan. Akupun senyum-senyum sendiri membaca surat itu. Namun ada sebuah kalimat yang cukup membuatku terkejut dan sekaligus gembira. “Yo, kamu harus segera pulang.” Kata Bapakku di surat. “Bapak sudah daftarkan kamu di SMA, kamu harus sekolah lagi, Yo.” Aku melanjutkan kata-kata bapak yang sangat membuatku tak percaya dan tak sadar menitikkan air mata. Belakangan aku tahu bapakku telah di semprot habis-habisan oleh salah seorang saudara di desa karena telah membiarkan anak laki-laki satu-satunya bekerja di Jakarta hanya menjadi buruh pabrik.
“Anakmu itu anak pinter, Mar. Kamu kok tega membiarkan anak laki-lakimu kerja di pabrik. Anakmu harus sekolah lagi.” Kata-kata itulah yang membuat bapak segera melayangkan surat untukku dan akhirnya akupun harus berpamitan dengan pak Andi bosku dan tentunya teman-teman seperjuanganku di Kirindo.
“Udahlah Yo, pulanglah, memang tempat kamu bukan di sini. Kamu harus sukses.” Kata Atmo teman terbaikku.
“Kamu beruntung Yo bisa sekolah tinggi. Kamu pasti akan jadi orang sukses. Cukup kita saja yang seperti ini.” Mas Ana menambahkan doa terbaiknya. Membuat air mataku kian jatuh tak tertahankan. Mereka memang teman-teman seperjuanganku yang sangat baik. Aku hanya berfikir semoga mereka mendapatkan kesuksesan walaupun tanpa harus bersekolah tinggi. Mereka orang-orang rajin yang akan mendapatkan balasan dari keuletannya bekerja. Yaitu kesuksesan.

Part 2 : THE LITTLE SPRING



Part 2
THE LITTLE SPRING

Telaga itu nama desaku di mana aku dilahirkan. Dapat dibayangkan sebuah hamparan air jernih dan udara sejuk dikelilingi hutan pinus yang luas. Sayangnya itu tak kutemukan di sana. Telaga hanya sebuah nama dan mungkin kalau dulunya ada itu hanya sebuah legenda. Kami selalu kekurangan air di musim kemarau. Rumput mengering. Daun-daun di pohon  menguning dan berguguran. Para peternak kambing kelimpungan melihat kambing-kambing mereka kurus tak ada nutrisi yang bisa di konsumsi. Hamparan sawah mulai retak dan berubah menjadi ajang bermain bola anak-anak seusiaku. Telaga yang ada hanya sebuah nama yang tidak pernah ada.
Seperti saat desa kami yang kekurangan air di musim kemarau, aku pun sangat merasa kehausan akan ilmu. Kegemaranku membaca kadang tidak bisa tersalurkan karena media baca saat itu sangat sulit di cari. Satu-satunya yaitu perpustakaan sekolah menjadi tempat terfaforitku. Aku lebih sering menghabiskan waktu istirahatku di perpustakaan. Buku-buku sejarah dan cerita bergambar menjadi target bacaanku waktu SD.
Menjadi guru atau menjadi apapun aku tidak pernah tahu. Bahkan aku tidak pernah memikirkan akan menjadi apa aku kelak. Masa kecilku mengalir begitu saja seperti aliran sungai kecil yang mengalir dengan sedikit air di musim kemarau. Aku bahkan tidak mengerti apa itu cita-cita. Orang tuaku pun tidak mengerti kalau anak laki-laki satu-satunya ini akan menjadi apa. Ayahku sibuk dengan sawah dan ladangnya. Kadang dia menjadi pedagang kecil di musim cengkeh yang lebih sering mengalami rugi dari pada untung. Orang tuaku tidak salah. Mereka hanya orang-orang yang kurang pendidikan yang selalu berjuang mati-matian untuk bisa menghidupi anak-anaknya. Mendidik semampunya. Mereka tak punya obsesi tinggi untuk anak-anaknya.
Tentang obsesiku yang tak pernah aku impikan waktu itu, aku hanya ingat ketika itu di kelas enam. Waktu itu kami anak sekelas ditanya pak guru tentang cita-cita kami. Aku menjawab, “Menjadi guru” kataku waktu itu tanpa berfikir panjang. Sementara teman-temanku ada yang menjawab “jadi dokter”,  “jadi pilot”, “jadi presiden”,” jadi polisi”  dan masih banyak yang lain. Kedengarannya cita-citaku dulu terlalu sederhana dan kurang melambung kalau dibandingkan dengan teman-temanku sewaktu SD dulu.
Jadi GURU? Mengapa aku harus menjawab menjadi guru? Kedengarannya tak ada yang istimewa. Akupun tak tahu alasannya waktu itu. Tak satupun bisa membantu untuk memperkuat alasanku. Mungkin semasa SD-ku di desa, sosok guru merupakan sosok yang paling dihormati oleh semua orang apalagi anak-anak. Seorang yang setiap pagi berpakaian PSH rapi membawa tas dan menyapa kami dengan berwibawa di depan kelas. Itu yang selalu kulihat setiap hari. Kenapa aku tidak menjawab menjadi presiden? Di mataku sosok presiden hanya sebuah foto yang terpampang diam di depan kelas. Presiden dan wakil preseiden tidak menceritakan dan tidak mengajarkan apa-apa buatku waktu itu. Apalagi pilot atau dokter. Mereka hanya sosok imajinasi yang pernah aku baca di buku cerita yang ada di perpustakaan atau pernah aku lihat di TV hitam putih yang pernah bapak beli dari hasil jualan cengkeh.
Mungkin karena guru bisa membuatku berhitung, membaca, menulis, menggambar, menyanyi, baris-berbaris, membuat kerajinan tangan, dan lain sebagainya yang kalau dihitung ternyata susah untuk menghitungnya. Guru yang kadang bisa membuat kami gembira, tertawa, bahkan ketakutan terutama kalau tidak mengerjakan PR. Guru yang membuatku tidak tahu menjadi tahu. Atau guru yang bisa membuatku bangga.
Tentang rasa bangga pada guruku, pernah pada suatu ketika, menjelang malam lebaran, akulah satu-satunya orang yang bisa merangkai dan menganyam daun kelapa menjadi ketupat yang siap diisi beras. Karena aku begitu mahir membuatnya sementara orang-orang di sekitarku tak ada yang mampu membuatnya. Aku begitu bangga dan berterimakasih pada pak guru yang waktu itu pernah mengajariku cara membuatnya. Aku masih ingat waktu itu pelajaran keterampilan untuk ujian keterampilan memasak kelas 6 SD.
Ini sedikit tentang sekolah dan guru-guruku di SD. Guru-guruku semuanya laki-laki. Tak ada satupun ibu guru. Mereka semua orang-orang yang hebat dan ulung. Kami berhasil dididik menjadi anak-anak yang mengerti keadaan. Termasuk keadaan sekolah kami yang posisinya lebih tinggi di atas jalan dan rawan longsor.  Aku masih ingat, ketika benteng pondasi depan sekolahan ambruk dan longsor gara-gara hujan lebat. Sehingga kami anak-anak harus pergi ke sungai yang jauhnya sekitar 3 kilo, untuk membawa batu ke sekolah secara bergotong royong. Kamipun sangat bergembira untuk pergi ke sungai untuk mengambil batu, karena di sana kami bisa bermain-main air di sungai Raja yang terkenal dengan Curug Dendengnya. (Air terjun di mana aku pernah belajar berenang hingga bisa mengapung di atas air). Membawa batu beramai-ramai walaupun jauh tidak terasa capai. Hasilnya tidak seberapa tetapi makna kerjasama dan saling bahu-membahu itu yang masih aku rasakan hingga sekarang. Pendidikan karakter yang membuat kami menjadi berkarakter.
Prestasi sekolahku di SD tidak terlalu gemilang. Namun hari penerimaan raport akhir semester selalu kunantikan untuk sekedar tahu kalau aku masih bertahan di posisi antara 3 sampai 5 besar. Itu sudah membuatku sangat berdebar. Ranking satu sudah ada pemilik tetapnya. Dia adalah teman terbaikku, Danu. Danu selalu duduk di sebelahku sejak kelas IV. Namun aku tidak pernah bisa mengalahkannya dalam hal prestasi belajar. Rasa bersaingku saat itu sangat tinggi, namun rupanya kegigihanku dalam belajar belum bisa mengalahkan dia. Dia memang lebih unggul dan lebih pekerja keras.
Yang belum bisa aku lupakan dari Danu adalah karena aku pernah membuatnya menangis. Waktu itu sehabis upacara, seperti biasa anak-anak berebut pintu masuk kelaskarena panas matahari yang membakar masih terasa di tubuh kami. Akupun dapat pintu lebih awal daripada Danu. Naluri isengku mendadak menyelinap di pikiranku. Aku menyeret bangku tempat duduknya hingga pada saat dia duduk dia terjatuh di lantai. Dan Berhasil. Dia terjatuh dan akhirnya menangis. Aku sangat ketakutan telah membuat dia kesakitan dan kaget. Akhir-akhir ini aku baru sadar kalau keisenganku itu ternyata sangat berbahaya. Aku benar-benar menyesal karena aku telah khilaf.
Satu lagi yang kuingat tentang kehebatan dia selain otaknya yang cemerlang. Dia adalah anak yang sangat rajin. Aku sering geleng-geleng kepala melihatnya menunjukan buku rangkuman semua pelajaran yang dia jilid sendiri dari kertas-kertas limbah yang tak terpakai. Hal ini dia lakukan karena dengan segala keterbatasan yang membuatnya menjadi kreatif. Kadang keterbatasan seseorang bisa menjadi pemacu orang tersebut untuk bisa berbuat sesuatu melebihi orang yang normal.
Bapakknya yang memiliki cacat pada kaki dan tangannya sehingga dia tidak bisa berjalan dengan normal apalagi bercocok tanam seperti orang-orang di desa yang lain. Tetapi dia masih mampu menghasilkan karya luar biasa dibandingkan orang normal lainnya. Bapakknya Danu seorang pengrajin bambu yang cukup terkenal di desaku waktu itu. Dia mampu membuat peralatan dapur dan pertanian dari bambu. Sumbul tempat nasi, ayakan bambu, caping, keranjang sampah, sapu, dan sebagainya. Tapi sayang menjelang akhir masa SD kami, persaingan produk pabrik mulai masuk ke desa. Tapi bapak Danu masih tetap mengandalkan produk buatannya sebagai penopang hidupnya. 
Lulus SD aku berharap besar bisa sekolah di SMP. Waktu itu ada dua SMP di kecamatan di mana aku tinggal. Satu SMP Negeri dan satunya swasta. Jauhnya sekitar 4 km dari rumah orangtuaku. Jarak yang cukup jauh untuk di tempuh dengan berjalan kaki. Sekitar satu jam aku dan kawan-kawanku menempuh perjalanan.
Beruntung NEM-ku cukup lumayan untuk bisa masuk ke SMP Negeri. Persaingan dimulai untuk mendapatkan kursi SMP. Dengan penuh percaya diri aku mendaftar SMP ditemani teman-tamanku. Tetapi mungkin sudah menjadi jalanku untuk diterima di SMP tersebut dengan status CADANGAN. Aku sangat terkejut dengan status cadangan dan tidak mengerti apa maksudnya dan kenapa bisa terjadi padaku. Sedangkan temanku yang lain yang nilainya lebih rendah diterima tanpa embel-embel cadangan. Belakangan aku tahu permasalahannya sewaktu mendaftar dulu aku hanya melampirkan NEM fotocopy. Setelah mengkonfirmasi akhirnya aku bisa bersekolah di SMP tersebut.
Dari tigapuluh dua teman-temanku di SD hanya 7 siswa yang melanjutkan ke SMP. Dan dari ke 7 temanku itu, Danu tidak termasuk di dalamnya. Terakhir aku melihatnya ketika dia menangis. Menangis bukan saja karena dia tidak bisa melanjutkan sekolah di SMP, tetapi dia harus merelakan pergi meninggalkan desa tercintanya di mana dia dilahirkan. Dia dan keluarganya harus hijrah ke pulau Sumatra, TRANSMIGRASI.
Empat siswa termasuk aku masuk ke SMP Negeri dan 3 diantaranya masuk ke swasta. Dari keempat siswa, hanya aku yang berhasil menyelesaikan jenjang SMP. Tiga temanku yang lain harus Drop Out karena alasan yang kurang jelas.
Lagi-lagi aku merasa beruntung kalau dibandingkan dengan temanku Danu, dan teman SDku yang lain dan juga kakakku. Masih teringat di malam itu langit begitu mendung seperti hujan akan segera turun. Dia menangis tersedu-sedu karena harus kandas untuk tidak meneruskan sekolah di SMP. Waktu itu ayahku sedang berjuang mengais rejeki di pulau Sumatra, Lampung tepatnya. Dia bekerja di perkebunan kopi dengan saudara yang lain.
“Fi, kamu kan anak perempuan. Ndak usah tinggi-tinggi sekolah. Kamu tahu sendiri kan Bapakmu jauh di Lampung. Ibumu ndak punya biaya untuk kamu sekolah. Kalau sekolah di swasta biayanya mahal.” Itu kata pamanku seperti petir yang menggelegar seakan menyambar dan membakar isi bumi. Dia berusahamenyadarkan kakakku untuk mengerti kondisi orang tua. Aku di belakang ikut menangis walaupun hatiku protes tapi aku tidak kuasa bicara apapun. Kasihan Sofi kakakku. Sampai akhirnya dia harus  berpulang menghadap Yang Maha Kuasa di usianya yang ke 30 dengan cukup mengenyam pendidikan sampai Sekolah Dasar saja.
Kembali ke masa-masa sekolahku di SMP. Mungkin obsesiku di masa ini sudah mulai tumbuh. Masa di mana aku sudah mulai mempunyai keinginan-keinginan. Yang aku masih terus mengenangnya adalah ketika aku mulai menyukai belajar bahasa Inggris. Memang nilai bahasa Inggrisku tidak terlalu melambung seperti teman-temanku yang papan atas. Tetapi keinginanku untuk belajar bahasa Inggris sangat kuat walaupun di kelas aku biasa-biasa saja. Sehingga aku harus belajar dengan caraku sendiri. Aku mulai menyukai lagu-lagu oldies berbahasa Inggris yang kadang aku dengarkan lewat acara ‘Berpacu dalam Melody’ di TVRI. Atau aku sering sengaja bangun sangat pagi hanya untuk dapat mendengarkan acara pelajaran bahasa Inggris jarak jauh BBC London atau Radio Australia yang disiarkan oleh saluran radio SW saat itu. Begitu pula acara lagu-lagu berbahasa Inggris yang disiarkan di acara radio Australia itu menjadi favoritku. Aku harus rela bangun lebih awal untuk dapat menangkap siaran itu. Bahkan aku sering berebut radio 2 Band merek National yang sangat popular waktu itu dengan nenekku. Karena radio itu memang milik neneku.
Aku memang bukan tipe anak yang suka makan di kantin sewaktu jam istirahat. Sehingga waktu istirahatku aku habiskan di perpustakaan. Sama seperti waktu SD. Target pertama bacaanku sekarang bukan buku cerita bergambar atau buku sejarah lagi, tetapi majalah pelajar bulanan terbitan Semarang “MOP”. Majalah pelajar yang sarat dengan artikel-artikel menarik yang mampu menambah wawasan. Aku memang selalu haus. Haus akan ilmu penetahuan. Dan yang paling menarik dari majalah Mop adalah rubrik English Corner. Sekitar dua halaman dari majalah itu berisi artikel berbahasa Inggris. Sulitnya mendapatkan bacaan berbahasa Inggris waktu itu, membuatku melakukan kenakalan yang hanya aku sendiri yang tahu.  Bukan kebiasaanku untuk mengutil barang-barang berharga milik orang. Tetapi ini aku lakukan dengan sangat terpaksa tanpa penyesalan. Dua lembar rubrik bahasa Inggris di majalah tersebut, diam-diam aku sobek dan aku lipat sekecil-kecilnya kemudian masuk ke saku celanaku. Sampai di rumah aku agendakan artikel bahasa Inggris itu dengan merapikan dan kemudian menempelnya di buku tulisku. Aku mengklipingnya. Dari kliping buatanku aku lebih bersemangat untuk membaca dan mencari makna di kamus yang aku pinjam dari teman. Waktu itu aku belum punya kamus.
Semangat dan ambisiku untuk belajar tak pernah pupus walau dengan segala keterbatasan. Memang semua serba terbatas saat itu. Tapi bukan saatnya aku untuk menyerah. Seperti para petani yang dengan gigih tetap menanam dan menyiram sayur di sawahnya yang kering di musim kemarau. Seperti kambing-kambing yang terpaksa memakan rumput setengah kering dan daun yang mulai menguning. Aku harus bisa menjadi mata air kecil (little spring) yang bisa menggenangi telaga yang tak berair. Seperti telaga yang tak pernah ada di desaku.

Part 1 : SEBUAH MUSIM



Part 1
SEBUAH MUSIM

Berawal pada pertengahan tahun 1973, tepatnya bulan Juni tanggal Sembilan belas, seperti yang tertulis samar pada secarik kertas putih kecoklatan dengan tinta hitam yang sudah blur, karena sudah termakan usia, di mana ibuku masih menyimpannya dengan rapi. Surat kenal lahirku.
Aku sadar, tempat di mana aku dilahirkan ternyata sangat jauh dari peradaban kota. Berada di sebuah ujung desa pegunungan di perbatasan tiga kabupaten (Banyumas, Brebes, dan Cilacap). Jika aku mau membandingkan dengan dulu, kini desa itu sangat berbeda. Di masa kecilku dulu aku bermain gobag sodor dan jet-jetan(petak umpat) di bawah terang bulan sangat mewarnai kehidupan masa kecilku. Membuat mobil-mobilan dengan kulit jeruk keprok (jeruk Bali) sudah menjadi hobiku di musim jeruk tiba. Meraut bambu hingga menjadi sebuah layang layang dan menerbangkannya merupakan keahlianku. Membuat topeng kertas dari membentuk cetakan tanah liat hingga menjadi topeng jadi dan siap dipakai untuk menakuti anak-anak. Membuat pedang-pedangan dari kayu Waru dan bermain perang-perangan dengan pedang buatan sendiri.
Semua tidak kulihat lagi seperti anak-anak kecil seusiaku dulu, sekarang sudah tidak kenal mainan dari tanah liat, kulit jerukpun sudah tak ada karena pembudidayaan jeruk Bali di desaku kurang mendapat tanggapan. Layang-layang juga sudah diproduksi pabrikan. Pedang-pedangan sudah dibuat lebih menarik terbuat dari plastik. Semua sudah tersedia dan serba instan. Anak-anak di sana sekarang bermain playstation, main game lewat HP atau notebook. Anak-anak seusia kelas 5 atau 6 SD lebih suka menghamburkan bensin untuk kebut-kebutan dengan motornya. Anak-anak lebih suka berdiam diri mengirim SMS atau menuliskan status facebook daripada baca buku cerita di perpustakaan atau buku pelajaran. Aku sadar penuh kalau ini memang sudah jamannya. Jaman akan terus berubah. Mainan, permainan, kebiasaan, gaya hidup, dan budaya pun bergeser. Campur tangan teknologi sangat mempengaruhi pendidikan dan karakter anak-anak jaman sekarang. Teknologi komunikasi mampu berbicara lebih banyak dalam merubah pola pikir dan kebudayaan anak-anak. Kadang nasihat orang tua maupun guru sudah kurang didengar apalagi dipraktekan. 
Kembali ke masa kecilku. Musim cengkeh adalah masa di mana masa yang paling ditunggu oleh setiap warga di desaku. Hampir semua orang memilikinya. Dari yang hanya beberapa pohon di dekat rumahnya hingga mereka yang memiliki berhektar-hektar di kebunnya. Semua turut berbahagia. Yang tidak punya kebun juga ikut merasakan kebahagaiaan dengan menjadi pekerja pemetik cengkeh. Banyak bermunculan juragan-juragan musiman. Berbagai system dihalalkan. Ada yang pakai system ijon (dimana cengkeh baru keluar kuncup bunga, sudah bisa dibeli dengan harga cengkeh siap panen), system tebas, dan lain lain.
Anak-anak di musim cengkeh ikut bereuphoria. Seperti aku, setiap pagi bangun tidur sebelum sekolah, aku langsung bertolak ke belakang rumah untuk memungut bunga cengkeh yang berjatuhan dari pohon dalam semalam. Sebutir sangat bernilai waktu itu. Aku memungutnya hingga dapat satu atau dua cangkir yang digunakan sebagi timbangan. Lumayan. Cukup untuk jajan satu hari bahkan lebih. Kantong anak-anak di desa itu rata-rata tebal, apalagi orang dewasa. Semua serba kecukupan. Kebutuhan pangan dan sandang terpenuhi. Perkeonomian berjalan seimbang. Nyaris tak ada kemiskinan. Mungkin bisa dikatakan kemakmuran.
Siang memetik cengkih, malam berpesta di sela sela acara merontokan bunga cengkeh dari gagangnya. Aneka hidangan tradisional dan minuman seperti teh dan kopi disajikan untuk menjaga mata agar tetap terjaga hingga larut malam. Lampu patromaks berkali-kali dipompa agar tetap menyala. Akupun terus terjaga dengan orang dewasa. Lumayan, setiap kilonya aku bisa mengumpulkan koin Rp.25. Cukup untuk ditukar 5 buah permen. Sekarang Rp.500.
Di sudut rumah yang lain masih ada orang-orang dengan tawa dan teriakan teriakan kemenangan atau kekalahannya bermain judi dengan kartu remi. Mereka yang kebanyakan uang atau yang hobi akan menghamburkan uangnya hingga pagi buta bahkan ada yang sampai siang hari. Ini adalah bagian dari mereka yang lepas kontrol dari kehingaran musim ini.
Satu hal yang aku pikirkan saat ini, waktu itu akupun belum terpikirkan. Dibalik melimpahnya para saudagar cengkeh, sangat jarang yang berkesadaran akan pentingnya pendidikan. Sekolah hanya untuk mereka yang mempunyai kesadaran wawasan maju ke depan. Sebagian besar beranggapan bahwa sekolah hanya akan menambah beban orang tua. Menghabiskan yang sudah ada. Itulah mengapa di saat musim cengkeh berlalu meninggalkan kita, musim paceklikpun mulai menghantui.