Jumat, 16 Agustus 2013

Part 2 : THE LITTLE SPRING



Part 2
THE LITTLE SPRING

Telaga itu nama desaku di mana aku dilahirkan. Dapat dibayangkan sebuah hamparan air jernih dan udara sejuk dikelilingi hutan pinus yang luas. Sayangnya itu tak kutemukan di sana. Telaga hanya sebuah nama dan mungkin kalau dulunya ada itu hanya sebuah legenda. Kami selalu kekurangan air di musim kemarau. Rumput mengering. Daun-daun di pohon  menguning dan berguguran. Para peternak kambing kelimpungan melihat kambing-kambing mereka kurus tak ada nutrisi yang bisa di konsumsi. Hamparan sawah mulai retak dan berubah menjadi ajang bermain bola anak-anak seusiaku. Telaga yang ada hanya sebuah nama yang tidak pernah ada.
Seperti saat desa kami yang kekurangan air di musim kemarau, aku pun sangat merasa kehausan akan ilmu. Kegemaranku membaca kadang tidak bisa tersalurkan karena media baca saat itu sangat sulit di cari. Satu-satunya yaitu perpustakaan sekolah menjadi tempat terfaforitku. Aku lebih sering menghabiskan waktu istirahatku di perpustakaan. Buku-buku sejarah dan cerita bergambar menjadi target bacaanku waktu SD.
Menjadi guru atau menjadi apapun aku tidak pernah tahu. Bahkan aku tidak pernah memikirkan akan menjadi apa aku kelak. Masa kecilku mengalir begitu saja seperti aliran sungai kecil yang mengalir dengan sedikit air di musim kemarau. Aku bahkan tidak mengerti apa itu cita-cita. Orang tuaku pun tidak mengerti kalau anak laki-laki satu-satunya ini akan menjadi apa. Ayahku sibuk dengan sawah dan ladangnya. Kadang dia menjadi pedagang kecil di musim cengkeh yang lebih sering mengalami rugi dari pada untung. Orang tuaku tidak salah. Mereka hanya orang-orang yang kurang pendidikan yang selalu berjuang mati-matian untuk bisa menghidupi anak-anaknya. Mendidik semampunya. Mereka tak punya obsesi tinggi untuk anak-anaknya.
Tentang obsesiku yang tak pernah aku impikan waktu itu, aku hanya ingat ketika itu di kelas enam. Waktu itu kami anak sekelas ditanya pak guru tentang cita-cita kami. Aku menjawab, “Menjadi guru” kataku waktu itu tanpa berfikir panjang. Sementara teman-temanku ada yang menjawab “jadi dokter”,  “jadi pilot”, “jadi presiden”,” jadi polisi”  dan masih banyak yang lain. Kedengarannya cita-citaku dulu terlalu sederhana dan kurang melambung kalau dibandingkan dengan teman-temanku sewaktu SD dulu.
Jadi GURU? Mengapa aku harus menjawab menjadi guru? Kedengarannya tak ada yang istimewa. Akupun tak tahu alasannya waktu itu. Tak satupun bisa membantu untuk memperkuat alasanku. Mungkin semasa SD-ku di desa, sosok guru merupakan sosok yang paling dihormati oleh semua orang apalagi anak-anak. Seorang yang setiap pagi berpakaian PSH rapi membawa tas dan menyapa kami dengan berwibawa di depan kelas. Itu yang selalu kulihat setiap hari. Kenapa aku tidak menjawab menjadi presiden? Di mataku sosok presiden hanya sebuah foto yang terpampang diam di depan kelas. Presiden dan wakil preseiden tidak menceritakan dan tidak mengajarkan apa-apa buatku waktu itu. Apalagi pilot atau dokter. Mereka hanya sosok imajinasi yang pernah aku baca di buku cerita yang ada di perpustakaan atau pernah aku lihat di TV hitam putih yang pernah bapak beli dari hasil jualan cengkeh.
Mungkin karena guru bisa membuatku berhitung, membaca, menulis, menggambar, menyanyi, baris-berbaris, membuat kerajinan tangan, dan lain sebagainya yang kalau dihitung ternyata susah untuk menghitungnya. Guru yang kadang bisa membuat kami gembira, tertawa, bahkan ketakutan terutama kalau tidak mengerjakan PR. Guru yang membuatku tidak tahu menjadi tahu. Atau guru yang bisa membuatku bangga.
Tentang rasa bangga pada guruku, pernah pada suatu ketika, menjelang malam lebaran, akulah satu-satunya orang yang bisa merangkai dan menganyam daun kelapa menjadi ketupat yang siap diisi beras. Karena aku begitu mahir membuatnya sementara orang-orang di sekitarku tak ada yang mampu membuatnya. Aku begitu bangga dan berterimakasih pada pak guru yang waktu itu pernah mengajariku cara membuatnya. Aku masih ingat waktu itu pelajaran keterampilan untuk ujian keterampilan memasak kelas 6 SD.
Ini sedikit tentang sekolah dan guru-guruku di SD. Guru-guruku semuanya laki-laki. Tak ada satupun ibu guru. Mereka semua orang-orang yang hebat dan ulung. Kami berhasil dididik menjadi anak-anak yang mengerti keadaan. Termasuk keadaan sekolah kami yang posisinya lebih tinggi di atas jalan dan rawan longsor.  Aku masih ingat, ketika benteng pondasi depan sekolahan ambruk dan longsor gara-gara hujan lebat. Sehingga kami anak-anak harus pergi ke sungai yang jauhnya sekitar 3 kilo, untuk membawa batu ke sekolah secara bergotong royong. Kamipun sangat bergembira untuk pergi ke sungai untuk mengambil batu, karena di sana kami bisa bermain-main air di sungai Raja yang terkenal dengan Curug Dendengnya. (Air terjun di mana aku pernah belajar berenang hingga bisa mengapung di atas air). Membawa batu beramai-ramai walaupun jauh tidak terasa capai. Hasilnya tidak seberapa tetapi makna kerjasama dan saling bahu-membahu itu yang masih aku rasakan hingga sekarang. Pendidikan karakter yang membuat kami menjadi berkarakter.
Prestasi sekolahku di SD tidak terlalu gemilang. Namun hari penerimaan raport akhir semester selalu kunantikan untuk sekedar tahu kalau aku masih bertahan di posisi antara 3 sampai 5 besar. Itu sudah membuatku sangat berdebar. Ranking satu sudah ada pemilik tetapnya. Dia adalah teman terbaikku, Danu. Danu selalu duduk di sebelahku sejak kelas IV. Namun aku tidak pernah bisa mengalahkannya dalam hal prestasi belajar. Rasa bersaingku saat itu sangat tinggi, namun rupanya kegigihanku dalam belajar belum bisa mengalahkan dia. Dia memang lebih unggul dan lebih pekerja keras.
Yang belum bisa aku lupakan dari Danu adalah karena aku pernah membuatnya menangis. Waktu itu sehabis upacara, seperti biasa anak-anak berebut pintu masuk kelaskarena panas matahari yang membakar masih terasa di tubuh kami. Akupun dapat pintu lebih awal daripada Danu. Naluri isengku mendadak menyelinap di pikiranku. Aku menyeret bangku tempat duduknya hingga pada saat dia duduk dia terjatuh di lantai. Dan Berhasil. Dia terjatuh dan akhirnya menangis. Aku sangat ketakutan telah membuat dia kesakitan dan kaget. Akhir-akhir ini aku baru sadar kalau keisenganku itu ternyata sangat berbahaya. Aku benar-benar menyesal karena aku telah khilaf.
Satu lagi yang kuingat tentang kehebatan dia selain otaknya yang cemerlang. Dia adalah anak yang sangat rajin. Aku sering geleng-geleng kepala melihatnya menunjukan buku rangkuman semua pelajaran yang dia jilid sendiri dari kertas-kertas limbah yang tak terpakai. Hal ini dia lakukan karena dengan segala keterbatasan yang membuatnya menjadi kreatif. Kadang keterbatasan seseorang bisa menjadi pemacu orang tersebut untuk bisa berbuat sesuatu melebihi orang yang normal.
Bapakknya yang memiliki cacat pada kaki dan tangannya sehingga dia tidak bisa berjalan dengan normal apalagi bercocok tanam seperti orang-orang di desa yang lain. Tetapi dia masih mampu menghasilkan karya luar biasa dibandingkan orang normal lainnya. Bapakknya Danu seorang pengrajin bambu yang cukup terkenal di desaku waktu itu. Dia mampu membuat peralatan dapur dan pertanian dari bambu. Sumbul tempat nasi, ayakan bambu, caping, keranjang sampah, sapu, dan sebagainya. Tapi sayang menjelang akhir masa SD kami, persaingan produk pabrik mulai masuk ke desa. Tapi bapak Danu masih tetap mengandalkan produk buatannya sebagai penopang hidupnya. 
Lulus SD aku berharap besar bisa sekolah di SMP. Waktu itu ada dua SMP di kecamatan di mana aku tinggal. Satu SMP Negeri dan satunya swasta. Jauhnya sekitar 4 km dari rumah orangtuaku. Jarak yang cukup jauh untuk di tempuh dengan berjalan kaki. Sekitar satu jam aku dan kawan-kawanku menempuh perjalanan.
Beruntung NEM-ku cukup lumayan untuk bisa masuk ke SMP Negeri. Persaingan dimulai untuk mendapatkan kursi SMP. Dengan penuh percaya diri aku mendaftar SMP ditemani teman-tamanku. Tetapi mungkin sudah menjadi jalanku untuk diterima di SMP tersebut dengan status CADANGAN. Aku sangat terkejut dengan status cadangan dan tidak mengerti apa maksudnya dan kenapa bisa terjadi padaku. Sedangkan temanku yang lain yang nilainya lebih rendah diterima tanpa embel-embel cadangan. Belakangan aku tahu permasalahannya sewaktu mendaftar dulu aku hanya melampirkan NEM fotocopy. Setelah mengkonfirmasi akhirnya aku bisa bersekolah di SMP tersebut.
Dari tigapuluh dua teman-temanku di SD hanya 7 siswa yang melanjutkan ke SMP. Dan dari ke 7 temanku itu, Danu tidak termasuk di dalamnya. Terakhir aku melihatnya ketika dia menangis. Menangis bukan saja karena dia tidak bisa melanjutkan sekolah di SMP, tetapi dia harus merelakan pergi meninggalkan desa tercintanya di mana dia dilahirkan. Dia dan keluarganya harus hijrah ke pulau Sumatra, TRANSMIGRASI.
Empat siswa termasuk aku masuk ke SMP Negeri dan 3 diantaranya masuk ke swasta. Dari keempat siswa, hanya aku yang berhasil menyelesaikan jenjang SMP. Tiga temanku yang lain harus Drop Out karena alasan yang kurang jelas.
Lagi-lagi aku merasa beruntung kalau dibandingkan dengan temanku Danu, dan teman SDku yang lain dan juga kakakku. Masih teringat di malam itu langit begitu mendung seperti hujan akan segera turun. Dia menangis tersedu-sedu karena harus kandas untuk tidak meneruskan sekolah di SMP. Waktu itu ayahku sedang berjuang mengais rejeki di pulau Sumatra, Lampung tepatnya. Dia bekerja di perkebunan kopi dengan saudara yang lain.
“Fi, kamu kan anak perempuan. Ndak usah tinggi-tinggi sekolah. Kamu tahu sendiri kan Bapakmu jauh di Lampung. Ibumu ndak punya biaya untuk kamu sekolah. Kalau sekolah di swasta biayanya mahal.” Itu kata pamanku seperti petir yang menggelegar seakan menyambar dan membakar isi bumi. Dia berusahamenyadarkan kakakku untuk mengerti kondisi orang tua. Aku di belakang ikut menangis walaupun hatiku protes tapi aku tidak kuasa bicara apapun. Kasihan Sofi kakakku. Sampai akhirnya dia harus  berpulang menghadap Yang Maha Kuasa di usianya yang ke 30 dengan cukup mengenyam pendidikan sampai Sekolah Dasar saja.
Kembali ke masa-masa sekolahku di SMP. Mungkin obsesiku di masa ini sudah mulai tumbuh. Masa di mana aku sudah mulai mempunyai keinginan-keinginan. Yang aku masih terus mengenangnya adalah ketika aku mulai menyukai belajar bahasa Inggris. Memang nilai bahasa Inggrisku tidak terlalu melambung seperti teman-temanku yang papan atas. Tetapi keinginanku untuk belajar bahasa Inggris sangat kuat walaupun di kelas aku biasa-biasa saja. Sehingga aku harus belajar dengan caraku sendiri. Aku mulai menyukai lagu-lagu oldies berbahasa Inggris yang kadang aku dengarkan lewat acara ‘Berpacu dalam Melody’ di TVRI. Atau aku sering sengaja bangun sangat pagi hanya untuk dapat mendengarkan acara pelajaran bahasa Inggris jarak jauh BBC London atau Radio Australia yang disiarkan oleh saluran radio SW saat itu. Begitu pula acara lagu-lagu berbahasa Inggris yang disiarkan di acara radio Australia itu menjadi favoritku. Aku harus rela bangun lebih awal untuk dapat menangkap siaran itu. Bahkan aku sering berebut radio 2 Band merek National yang sangat popular waktu itu dengan nenekku. Karena radio itu memang milik neneku.
Aku memang bukan tipe anak yang suka makan di kantin sewaktu jam istirahat. Sehingga waktu istirahatku aku habiskan di perpustakaan. Sama seperti waktu SD. Target pertama bacaanku sekarang bukan buku cerita bergambar atau buku sejarah lagi, tetapi majalah pelajar bulanan terbitan Semarang “MOP”. Majalah pelajar yang sarat dengan artikel-artikel menarik yang mampu menambah wawasan. Aku memang selalu haus. Haus akan ilmu penetahuan. Dan yang paling menarik dari majalah Mop adalah rubrik English Corner. Sekitar dua halaman dari majalah itu berisi artikel berbahasa Inggris. Sulitnya mendapatkan bacaan berbahasa Inggris waktu itu, membuatku melakukan kenakalan yang hanya aku sendiri yang tahu.  Bukan kebiasaanku untuk mengutil barang-barang berharga milik orang. Tetapi ini aku lakukan dengan sangat terpaksa tanpa penyesalan. Dua lembar rubrik bahasa Inggris di majalah tersebut, diam-diam aku sobek dan aku lipat sekecil-kecilnya kemudian masuk ke saku celanaku. Sampai di rumah aku agendakan artikel bahasa Inggris itu dengan merapikan dan kemudian menempelnya di buku tulisku. Aku mengklipingnya. Dari kliping buatanku aku lebih bersemangat untuk membaca dan mencari makna di kamus yang aku pinjam dari teman. Waktu itu aku belum punya kamus.
Semangat dan ambisiku untuk belajar tak pernah pupus walau dengan segala keterbatasan. Memang semua serba terbatas saat itu. Tapi bukan saatnya aku untuk menyerah. Seperti para petani yang dengan gigih tetap menanam dan menyiram sayur di sawahnya yang kering di musim kemarau. Seperti kambing-kambing yang terpaksa memakan rumput setengah kering dan daun yang mulai menguning. Aku harus bisa menjadi mata air kecil (little spring) yang bisa menggenangi telaga yang tak berair. Seperti telaga yang tak pernah ada di desaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar