Part 2
THE LITTLE SPRING
Telaga itu nama desaku di mana aku dilahirkan. Dapat dibayangkan
sebuah hamparan air jernih dan udara sejuk dikelilingi hutan pinus yang luas.
Sayangnya itu tak kutemukan di sana. Telaga hanya sebuah nama dan mungkin kalau
dulunya ada itu hanya sebuah legenda. Kami selalu kekurangan air di musim
kemarau. Rumput mengering. Daun-daun di pohon
menguning dan berguguran. Para peternak kambing kelimpungan melihat
kambing-kambing mereka kurus tak ada nutrisi yang bisa di konsumsi. Hamparan
sawah mulai retak dan berubah menjadi ajang bermain bola anak-anak seusiaku. Telaga
yang ada hanya sebuah nama yang tidak pernah ada.
Seperti saat desa kami yang kekurangan air
di musim kemarau, aku pun sangat merasa kehausan akan ilmu. Kegemaranku membaca
kadang tidak bisa tersalurkan karena media baca saat itu sangat sulit di cari.
Satu-satunya yaitu perpustakaan sekolah menjadi tempat terfaforitku. Aku lebih
sering menghabiskan waktu istirahatku di perpustakaan. Buku-buku sejarah dan cerita
bergambar menjadi target bacaanku waktu SD.
Menjadi guru atau menjadi apapun aku tidak pernah tahu. Bahkan
aku tidak pernah memikirkan akan menjadi apa aku kelak. Masa kecilku mengalir
begitu saja seperti aliran sungai kecil yang mengalir dengan sedikit air di
musim kemarau. Aku bahkan tidak mengerti apa itu cita-cita. Orang tuaku pun
tidak mengerti kalau anak laki-laki satu-satunya ini akan menjadi apa. Ayahku
sibuk dengan sawah dan ladangnya. Kadang dia menjadi pedagang kecil di musim
cengkeh yang lebih sering mengalami rugi dari pada untung. Orang tuaku tidak salah.
Mereka hanya orang-orang yang kurang pendidikan yang selalu berjuang
mati-matian untuk bisa menghidupi anak-anaknya. Mendidik semampunya. Mereka tak
punya obsesi tinggi untuk anak-anaknya.
Tentang obsesiku yang tak pernah aku impikan waktu itu, aku
hanya ingat ketika itu di kelas enam. Waktu itu kami anak sekelas ditanya pak
guru tentang cita-cita kami. Aku menjawab, “Menjadi guru” kataku waktu itu
tanpa berfikir panjang. Sementara teman-temanku ada yang menjawab “jadi dokter”, “jadi pilot”, “jadi presiden”,” jadi polisi” dan masih banyak yang lain. Kedengarannya
cita-citaku dulu terlalu sederhana dan kurang melambung kalau dibandingkan
dengan teman-temanku sewaktu SD dulu.
Jadi GURU? Mengapa
aku harus menjawab menjadi guru? Kedengarannya tak ada yang istimewa. Akupun
tak tahu alasannya waktu itu. Tak satupun bisa membantu untuk memperkuat
alasanku. Mungkin semasa SD-ku di desa, sosok guru merupakan sosok yang paling
dihormati oleh semua orang apalagi anak-anak. Seorang yang setiap pagi
berpakaian PSH rapi membawa tas dan menyapa kami dengan berwibawa di depan
kelas. Itu yang selalu kulihat setiap hari. Kenapa aku tidak menjawab menjadi
presiden? Di mataku sosok presiden hanya sebuah foto yang terpampang diam di
depan kelas. Presiden dan wakil preseiden tidak menceritakan dan tidak
mengajarkan apa-apa buatku waktu itu. Apalagi pilot atau dokter. Mereka hanya
sosok imajinasi yang pernah aku baca di buku cerita yang ada di perpustakaan
atau pernah aku lihat di TV hitam putih yang pernah bapak beli dari hasil
jualan cengkeh.
Mungkin karena guru bisa membuatku berhitung, membaca, menulis,
menggambar, menyanyi, baris-berbaris, membuat kerajinan tangan, dan lain
sebagainya yang kalau dihitung ternyata susah untuk menghitungnya. Guru yang
kadang bisa membuat kami gembira, tertawa, bahkan ketakutan terutama kalau
tidak mengerjakan PR. Guru yang membuatku tidak tahu menjadi tahu. Atau guru
yang bisa membuatku bangga.
Tentang rasa bangga pada guruku, pernah pada suatu ketika,
menjelang malam lebaran, akulah satu-satunya orang yang bisa merangkai dan
menganyam daun kelapa menjadi ketupat yang siap diisi beras. Karena aku begitu
mahir membuatnya sementara orang-orang di sekitarku tak ada yang mampu
membuatnya. Aku begitu bangga dan berterimakasih pada pak guru yang waktu itu
pernah mengajariku cara membuatnya. Aku masih ingat waktu itu pelajaran
keterampilan untuk ujian keterampilan memasak kelas 6 SD.
Ini sedikit tentang sekolah dan guru-guruku di SD. Guru-guruku
semuanya laki-laki. Tak ada satupun ibu guru. Mereka semua orang-orang yang
hebat dan ulung. Kami berhasil dididik menjadi anak-anak yang mengerti keadaan.
Termasuk keadaan sekolah kami yang posisinya lebih tinggi di atas jalan dan rawan
longsor. Aku masih ingat, ketika benteng
pondasi depan sekolahan ambruk dan longsor gara-gara hujan lebat. Sehingga kami
anak-anak harus pergi ke sungai yang jauhnya sekitar 3 kilo, untuk membawa batu
ke sekolah secara bergotong royong. Kamipun sangat bergembira untuk pergi ke
sungai untuk mengambil batu, karena di sana kami bisa bermain-main air di
sungai Raja yang terkenal dengan Curug Dendengnya. (Air terjun di mana aku
pernah belajar berenang hingga bisa mengapung di atas air). Membawa batu
beramai-ramai walaupun jauh tidak terasa capai. Hasilnya tidak seberapa tetapi
makna kerjasama dan saling bahu-membahu itu yang masih aku rasakan hingga
sekarang. Pendidikan karakter yang membuat kami menjadi berkarakter.
Prestasi sekolahku di SD tidak terlalu gemilang. Namun hari penerimaan
raport akhir semester selalu kunantikan untuk sekedar tahu kalau aku masih
bertahan di posisi antara 3 sampai 5 besar. Itu sudah membuatku sangat berdebar.
Ranking satu sudah ada pemilik tetapnya. Dia adalah teman terbaikku, Danu. Danu
selalu duduk di sebelahku sejak kelas IV. Namun aku tidak pernah bisa
mengalahkannya dalam hal prestasi belajar. Rasa bersaingku saat itu sangat
tinggi, namun rupanya kegigihanku dalam belajar belum bisa mengalahkan dia. Dia
memang lebih unggul dan lebih pekerja keras.
Yang belum bisa aku lupakan dari Danu adalah karena aku pernah
membuatnya menangis. Waktu itu sehabis upacara, seperti biasa anak-anak berebut
pintu masuk kelaskarena panas matahari yang membakar masih terasa di tubuh
kami. Akupun dapat pintu lebih awal daripada Danu. Naluri isengku mendadak
menyelinap di pikiranku. Aku menyeret bangku tempat duduknya hingga pada saat
dia duduk dia terjatuh di lantai. Dan Berhasil. Dia terjatuh dan akhirnya
menangis. Aku sangat ketakutan telah membuat dia kesakitan dan kaget.
Akhir-akhir ini aku baru sadar kalau keisenganku itu ternyata sangat berbahaya.
Aku benar-benar menyesal karena aku telah khilaf.
Satu lagi yang kuingat tentang kehebatan dia selain otaknya yang
cemerlang. Dia adalah anak yang sangat rajin. Aku sering geleng-geleng kepala
melihatnya menunjukan buku rangkuman semua pelajaran yang dia jilid sendiri
dari kertas-kertas limbah yang tak terpakai. Hal ini dia lakukan karena dengan
segala keterbatasan yang membuatnya menjadi kreatif. Kadang keterbatasan
seseorang bisa menjadi pemacu orang tersebut untuk bisa berbuat sesuatu melebihi
orang yang normal.
Bapakknya yang memiliki cacat pada kaki dan tangannya sehingga
dia tidak bisa berjalan dengan normal apalagi bercocok tanam seperti
orang-orang di desa yang lain. Tetapi dia masih mampu menghasilkan karya luar
biasa dibandingkan orang normal lainnya. Bapakknya Danu seorang pengrajin bambu
yang cukup terkenal di desaku waktu itu. Dia mampu membuat peralatan dapur dan
pertanian dari bambu. Sumbul tempat nasi, ayakan bambu, caping, keranjang sampah,
sapu, dan sebagainya. Tapi sayang menjelang akhir masa SD kami, persaingan
produk pabrik mulai masuk ke desa. Tapi bapak Danu masih tetap mengandalkan
produk buatannya sebagai penopang hidupnya.
Lulus SD aku berharap besar bisa sekolah di SMP. Waktu itu ada
dua SMP di kecamatan di mana aku tinggal. Satu SMP Negeri dan satunya swasta.
Jauhnya sekitar 4 km dari rumah orangtuaku. Jarak yang cukup jauh untuk di
tempuh dengan berjalan kaki. Sekitar satu jam aku dan kawan-kawanku menempuh
perjalanan.
Beruntung NEM-ku cukup lumayan untuk bisa masuk ke SMP Negeri.
Persaingan dimulai untuk mendapatkan kursi SMP. Dengan penuh percaya diri aku
mendaftar SMP ditemani teman-tamanku. Tetapi mungkin sudah menjadi jalanku
untuk diterima di SMP tersebut dengan status CADANGAN. Aku sangat terkejut
dengan status cadangan dan tidak mengerti apa maksudnya dan kenapa bisa terjadi
padaku. Sedangkan temanku yang lain yang nilainya lebih rendah diterima tanpa
embel-embel cadangan. Belakangan aku tahu permasalahannya sewaktu mendaftar dulu
aku hanya melampirkan NEM fotocopy. Setelah mengkonfirmasi akhirnya aku bisa bersekolah
di SMP tersebut.
Dari tigapuluh dua teman-temanku di SD hanya 7 siswa yang
melanjutkan ke SMP. Dan dari ke 7 temanku itu, Danu tidak termasuk di dalamnya.
Terakhir aku melihatnya ketika dia menangis. Menangis bukan saja karena dia
tidak bisa melanjutkan sekolah di SMP, tetapi dia harus merelakan pergi
meninggalkan desa tercintanya di mana dia dilahirkan. Dia dan keluarganya harus
hijrah ke pulau Sumatra, TRANSMIGRASI.
Empat siswa termasuk aku masuk ke SMP Negeri dan 3 diantaranya
masuk ke swasta. Dari keempat siswa, hanya aku yang berhasil menyelesaikan
jenjang SMP. Tiga temanku yang lain harus Drop Out karena alasan yang kurang
jelas.
Lagi-lagi aku merasa beruntung kalau dibandingkan dengan temanku
Danu, dan teman SDku yang lain dan juga kakakku. Masih teringat di malam itu langit
begitu mendung seperti hujan akan segera turun. Dia menangis tersedu-sedu
karena harus kandas untuk tidak meneruskan sekolah di SMP. Waktu itu ayahku sedang
berjuang mengais rejeki di pulau Sumatra, Lampung tepatnya. Dia bekerja di
perkebunan kopi dengan saudara yang lain.
“Fi, kamu kan anak perempuan. Ndak usah tinggi-tinggi sekolah.
Kamu tahu sendiri kan Bapakmu jauh di Lampung. Ibumu ndak punya biaya untuk
kamu sekolah. Kalau sekolah di swasta biayanya mahal.” Itu kata pamanku seperti
petir yang menggelegar seakan menyambar dan membakar isi bumi. Dia berusahamenyadarkan
kakakku untuk mengerti kondisi orang tua. Aku di belakang ikut menangis
walaupun hatiku protes tapi aku tidak kuasa bicara apapun. Kasihan Sofi
kakakku. Sampai akhirnya dia harus berpulang menghadap Yang Maha Kuasa di usianya
yang ke 30 dengan cukup mengenyam pendidikan sampai Sekolah Dasar saja.
Kembali ke masa-masa sekolahku di SMP. Mungkin obsesiku di masa
ini sudah mulai tumbuh. Masa di mana aku sudah mulai mempunyai
keinginan-keinginan. Yang aku masih terus mengenangnya adalah ketika aku mulai
menyukai belajar bahasa Inggris. Memang nilai bahasa Inggrisku tidak terlalu
melambung seperti teman-temanku yang papan atas. Tetapi keinginanku untuk
belajar bahasa Inggris sangat kuat walaupun di kelas aku biasa-biasa saja.
Sehingga aku harus belajar dengan caraku sendiri. Aku mulai menyukai lagu-lagu oldies berbahasa Inggris yang kadang aku
dengarkan lewat acara ‘Berpacu dalam Melody’ di TVRI. Atau aku sering sengaja
bangun sangat pagi hanya untuk dapat mendengarkan acara pelajaran bahasa
Inggris jarak jauh BBC London atau Radio Australia yang disiarkan oleh saluran
radio SW saat itu. Begitu pula acara lagu-lagu berbahasa Inggris yang disiarkan
di acara radio Australia itu menjadi favoritku. Aku harus rela bangun lebih
awal untuk dapat menangkap siaran itu. Bahkan aku sering berebut radio 2 Band
merek National yang sangat popular waktu itu dengan nenekku. Karena radio itu
memang milik neneku.
Aku memang bukan tipe anak yang suka makan di kantin sewaktu jam
istirahat. Sehingga waktu istirahatku aku habiskan di perpustakaan. Sama
seperti waktu SD. Target pertama bacaanku sekarang bukan buku cerita bergambar
atau buku sejarah lagi, tetapi majalah pelajar bulanan terbitan Semarang “MOP”.
Majalah pelajar yang sarat dengan artikel-artikel menarik yang mampu menambah
wawasan. Aku memang selalu haus. Haus akan ilmu penetahuan. Dan yang paling
menarik dari majalah Mop adalah rubrik English Corner. Sekitar dua halaman dari
majalah itu berisi artikel berbahasa Inggris. Sulitnya mendapatkan bacaan
berbahasa Inggris waktu itu, membuatku melakukan kenakalan yang hanya aku
sendiri yang tahu. Bukan kebiasaanku
untuk mengutil barang-barang berharga milik orang. Tetapi ini aku lakukan
dengan sangat terpaksa tanpa penyesalan. Dua lembar rubrik bahasa Inggris di
majalah tersebut, diam-diam aku sobek dan aku lipat sekecil-kecilnya kemudian
masuk ke saku celanaku. Sampai di rumah aku agendakan artikel bahasa Inggris
itu dengan merapikan dan kemudian menempelnya di buku tulisku. Aku
mengklipingnya. Dari kliping buatanku aku lebih bersemangat untuk membaca dan
mencari makna di kamus yang aku pinjam dari teman. Waktu itu aku belum punya
kamus.
Semangat dan ambisiku untuk belajar tak pernah pupus walau
dengan segala keterbatasan. Memang semua serba terbatas saat itu. Tapi bukan
saatnya aku untuk menyerah. Seperti para petani yang dengan gigih tetap menanam
dan menyiram sayur di sawahnya yang kering di musim kemarau. Seperti
kambing-kambing yang terpaksa memakan rumput setengah kering dan daun yang
mulai menguning. Aku harus bisa menjadi mata air kecil (little spring) yang
bisa menggenangi telaga yang tak berair. Seperti telaga yang tak pernah ada di
desaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar