![]() |
Add caption |
Dari judul tulisan ini mungkin
anda mengira kalau yang saya tulis ini adalah kisah perjalan orang –orang hebat
yang sukses seperti bukunya Davit Setiawan, Life
Will Never Be The Same atau buku inspiratif lainnya yang sangat
menginspirasi. Anda salah. Orang-orang hebat yang saya kisahkan di sini bukan
orang hebat yang menjadi pejabat atau orang sukses dalam bisnis maupun karir.
Ini adalah kisah tentang orang-orang biasa yang mampu menggugah orang-orang
yang tertidur seperti saya. Kisah sepele yang mungkin juga anda semua pernah
alami. Ini merupakan cerita sehari-hari selama saya bergumul dengan orang-orang
di sekitar saya. Mereka adalah orang orang hebat yang sering luput dari
perhatian kita semua.
Dalam kehidupan, seseorang kadang
mengalami krisis semangat atau pesimisme untuk menjalankan kehidupan agar tetap
hidup, dan hidup lebih bermakna bagi diri sendiri maupun orang lain. Dalam
kondisi ini seseorang sangat membutuhkan penyemangat atau motivator. Membaca
buku-buku motivasi dan kata-kata bijak dari para motivator terkenal atau
biografi orang-orang sukses mampu merubah pesimis menjadi optimis. Atau bagi
yang tidak suka membaca bisa mendengarkan atau menonton talk show seperti Kick Andy atau
Mario Teguh Golden Ways misalnya. Atau seminar-seminar motivasi yang
pembicaranya orang-orang hebat dan sukses. Cara-cara tadi bisa menjadi pemompa hati yang
sedang berkilau dalam galau.
Kita tidak menyadari bahwa sebenarnya
banyak sekali motivator-motivator hebat di sekitar kita kalau kita mau membuka
mata. Orang-orang tercinta dan terdekat kita. Orang-orang yang kita temui tanpa
sengaja yang tak pernah kita pedulikan. Mereka adalah orang-orang yang tersingkir
dan terabaikan dalam perhatian kita untuk kita jadikan teladan yang nyata dan
benar-benar ada tidak jauh dari kita. Memang mereka bukan orang hebat yang
populer karena mereka tidak mencari popularitas. Orang-orang hebat yang kita
anggap tidak hebat. Bahkan orang-orang ini juga tidak tahu kalau dirinya hebat.
Hebat bukan?
PARA PENDERMA ULUNG
Saling memberi merupakan kewajiban
bagi kita semua umat manusia apalagi terhadap mereka yang masih kekurangan baik
berupa ilmu maupun materi. Tuntunan tentang berbagi, memberi atau bersedekah sudah
banyak kita dapatkan dari teladan kita sebagai umat beragama. Pelajaran atau
dalil sering kita dengarkan dari para pendakwah atau penceramah top di tanah
air kita. Tetapi mengapa kita masih sering menjadi manusia yang angkuh dan
sombong sehingga berat rasanya untuk berbagi atau memberi. Mungkin karena kita enggan
belajar atau tidak mau membuka mata kita lebih lebar lagi. Sebenarnya teladan kita itu ada di mana-mana.
Di sekeliling kita banyak sekali teladan yang luput dari pandangan mata dan
bahkan kita anggap mereka tidak ada.
Pengalaman ini benar-benar merupakan
tendangan penalty buat saya untuk menjadi orang generous. Waktu itu sore hari setelah ashar, saya mengantar istri
saya berbelanja di sebuah toko sembako langganan istri saya. Seperti biasanya
saya hanya duduk di atas motor yang saya parkirkan di depan toko tersebut di
pinggir jalan besar. Tiba-tiba mata saya tertuju pada sebuah titik di mana
seorang gelandangan berbaju kumal dan berambut gimbal, (rupanya dia orang gila
yang baru aku lihat di daerah sekitar toko itu). Sembari mengomel diapun
tertawa sendiri. Entah apa yang ditertawakannya itupun saya tidak tahu lagian
itu bukan urusan saya. Sudahlah! Saya tidak mau memikirkan orang itu. Memang akhir-akhir
ini hampir di setiap sudut kota banyak orang gila yang berkeliaran. Mungkin
saya adalah orang yang ke-sekian yang merasa terganggu dan hanya menggerutu dan
tidak perduli dengan kehadiran mereka yang merusak pemandangan mata kita. Itu
yang ada di pikiran saya saat itu.
Selama beberapa menit saya
menunggu istri saya berbelanja, tiba-tiba dari dalam toko keluar seorang ibu
yang menenteng belanjaan dan susah payah menuntun anak perempuannya yang
berusia sekitar 5 tahun. Tepat di depan orang gila tadi, ibu tersebut berhenti
dan mengeluarkan sesuatu dari kantong plastik belanjaannya. Saya sangat
terkejut ketika dia mengeluarkan sebungkus roti dan minuman cup dan memberikannya pada si gila tadi
dan kemudian berlalu sambil menyeret anak lima tahunnya tadi berjalan pulang menyusuri
pinggir jalan besar itu. Sementara si gila tadi masih sibuk dengan tawanya
tanpa mempedulikan si ibu pemberi tadi (apalagi pada saya) tanpa mengucapkan
terima kasih. (masih wajar karena dia tidak normal).
Saya bukannya mengeluhkan terhadap
si gila yang tidak tahu berterima kasih, tetapi saya tidak habis pikir mengapa
ada orang sebaik ibu tadi yang masih peduli terhadap orang gila itu? Mengapa
harus seorang ibu yang sedang kerepotan bawa belannjaannya dan membawa anak
kecil? Kenapa bukan saya yang sedang duduk santai kemudian beli sesuatu dan
diberikan ke orang gila itu ? Atau kenapa bukan sang pemilik toko itu?
Ternyata di zaman seperti sekarang
ini, di mana orang-orang sudah semakin sibuk mengurusi dirinya sendiri, masih
ada orang yang peduli dengan sesamanya yang kekurangan. Kalau saja di kota ini
ada seribu ibu-ibu seperti itu mungkin tidak banyak orang kelaparan di
ujung-ujung sana. Ternyata pelajaran berharga itu saya dapatkan hanya sambil
duduk di atas motor yang saya parkirkan beberapa menit yang lalu. Harus diakui
bahwa hari ini saya benar-benar telah mendapatkan pelajaran yang sangat
berharga dari ibu tadi. Ibu tadi menjadi the
real teacher buat saya. Actionnya
melebihi seorang dai kondang yang banyak berceramah agar kita banyak memberi.
Keteladanannya benar-benar telah menampar saya agar saya menjadi seorang yang
murah untuk memberi. Kadang kita terlalu
banyak menghitung dan menunggu untuk memberi karena semakin banyak menghitung
semakin berat untuk memberi. Seperti ibu tadi, dia tidak banyak menghitung dan
tidak pula banyak bicara, tetapi
bertindak. Dia memang hebat. Two thumbs
up for you mam!
Orang hebat berikutnya adalah orang
terdekat saya. Dia adalah istri saya. Dia telah melakukan banyak hal yang kadang tidak bisa saya lakukan
diantaranya yaitu suka memberi. (Bukan berarti saya tidak suka memberi; ini pembelaan).
Tetapi lebih ke the way she gives. Kebiasaanya
ini sering membuat saya tercengang dan tidak mengerti jalan pikirannya (yang
positif). Caranya dia memberi sering di luar dugaan saya. Surpirising! Sering saya bergeleng kepala tak percaya atas apa yang
dia lakukan.
Pernah suatu ketika, dia cerita
sama saya. Karena hari itu saya tidak bisa mengantarkannya dia ke sekolah di
mana dia mengajar. Terpakasa dia harus menggunakan jasa becak. Kebetulan jarak
dimana saya mengedrop dia cukup jauh dari sekolah tersebut. Sama seperti
ibu-ibu yang lain terjadi tawar menawar harga. ‘Lima belas ribu’ kata tukang
becak itu. Isri saya menawar sepuluh ribu. Karena istri saya memang paling
pintar untuk tawar menawar, akhirnya tukang becakpun harus mengalah dengan
harga sepuluh ribu. Setelah deal
tukang becakpun mulai mengayuh. Perjalanan cukup lama karena ternyata jalan
agak menanjak. Dalam perjalanan istri saya mulai berubah pikiran karena melihat
kondisi jalan dan si bapak tukang becak juga sudah berumur lanjut. Begitu
turun, si tukang becak sangat terkejut karena uang yang diterimanya sejumlah
lima belas ribu rupiah. Tukang becak berusaha menanyakan jumlah uang yang
diterimanya tetapi sudah terlambat. Istri saya sudah berlalu. Begitu cara istri
saya memperlakukan tukang becak.
Tidak hanya tukang becak yang
diperlakukan seprti itu. Dia sering melakukan hal yang sama terhadap tukang
parkir. Di kala tukang parkir sedang mencari uang kembalian Rp.1000 dari uang
pecahan Rp.2000 yang istri saya berikan, istri saya sering menolaknya, ‘Gak
usah mas.’ Saya hanya menarik nafas
sambil mengangguk angguk, kemudian istri saya menatap saya sambil senyum
manis sekali. Saya pun hanya membalas dengan senyuman yang tidak kalah
manisnya.
Pernah di suatu hari, saya
mengantar istri saya belanja. Setelah selesai saya perhatikan dia membawa dua
kantong plastik belanjaan. Saya hanya berfikir, ‘Pasti istri saya mau masak
besar, nih.’ Pikir saya kegeeran. Sekitar kurang beberapa meter dari rumah saya,
istri saya meminta saya menghentikan motor saya tepat di depan rumah Pak Margo (tetangga
kami yang sedang sakit atsma dan tidak lagi produktif bekerja). Lagi-lagi saya
menarik nafas setelah melihat dia kembali dengan hanya menenteng satu tas plastiknya, saya baru sadar dan
menarik kembali pemikiran saya, ‘istri saya pasti tidak akan masak besar’.
Dia hanya bilang, ‘Alhamdulillah,
Mas. Cuma ini yang bisa kita lakukan.” Katanya sambil melemparkan senyum
termanisnya. ‘What?? Cuma ini? Ini sudah luar biasa, sayangg?” Kataku dalam
hati saja dan saya hanya membalas senyumnya semanis mungkin. Karena arti senyuman saya itu sudah mewakili
semua kata-kata saya yang bernada mensupportnya.
Tidak hanya itu. Masih banyak
sekali yang luar biasa dari dia. Tentunya tidak akan saya ceritakan semua di
sini. Saya takut membuat anda terlalu banyak iri pada saya. Setidaknya di dalam
lingkungan perumahan yang kami tinggali, ada seorang anak remaja yang “maaf”
agak kurang sempurna. Icha namanya. Saya tidak menyangka kalau istri saya
begitu memperhatikan mas Icha (bukan cemburu). Tidak jarang istri memberinya
sekedar makan malam dan uang jajan setiap kali dia datang. Indah… sekali
melihatnya.
Dia memang cantik, tetapi menurut saya
dia tidak hanya cantik tetapi dia sangat indah dengan cara dia yang sangat generous. Dia juga pernah bilang,” Manusia terindah adalah manusia yang bermanfaat
untuk saudaranya. ” Katanya mengutip kata-katanya Mario Teguh. Kemudian saya
pun membalasnya,’ Orang yang hidup hanya untuk dirinya sendiri lebih mudah
untuk merasa sedih dan tidak berguna.’ Itu kata-kataku tak kalah seru sambil berusaha
mengingat kata-kata Mario Teguh juga. Karena tukang becak, tukang parkir, pak
Margo, dan mas Icha, mereka memang saudara kita semua yang tidak semua orang
mau menyentuhnya.