Bismillaahirrohmaanirrohiim…
Keluargaku, Saudaraku,
Sahabatku, tetanggaku, teman-temanku, siswa-siswaku, dan siapa saja yang membaca
kisah ini, terima kasih sudah mau membuka blogku dan sudi membaca kisah
pribadiku yang sederhana dan tak berarti ini. Namun, mudah-mudahan bisa sekedar
menjadi teman minum teh atau kopi atau menjadikan bahan bacaan ringan di waktu
senggang anda semua. Syukur-syukur bisa sedikit menjadi motivasi dalam hidup
anda untuk terus belajar dan berjuang. Belajar dari apa yang kita lihat,
belajar dari apa yang kita dengar, belajar dari keberhasilan orang dan bahkan
dari kesalahan atau kegagalan seseorang. Belajar dari pengalaman, baik
pengalaman pribadai maupun orang lain. Karena sebuah pepatah yang mengatakan bahwa Experience is the best teacher, pengalaman adalah guru yang
terbaik. Dan yang terbaik jadikanlah guru dalam mencari pengalaman hidup ini.
Kisah yang aku tuliskan ini bukan merupakan kisah kesuksesan seperti
kisah-kisah orang hebat yang telah berjasa bagi dunia ilmu pengetahuan yang
mampu memberikan manfaat terbesar bagi umat manusia seperti Albert Einstein,
Thomas Alva Edison atau penulis ternama J.K. Rowling dan lain-lain. Kisah ini
juga bukan merupakan kisah heroik seseorang yang telah menyelamatkan orang lain
dari suatu bahaya atau masalah yang maha sulit. Tetapi hanya sekelumit kenangan
akan perjalananku hingga aku menjadi seorang pendidik. Dan sebuah bukti bahwa
kata-kata where there is a will there is
a way itu benar-benar ampuh. Kata-kata yang pernah aku baca di bagian footnote di buku tulis yang dipakai
siswa-siswaku. Kata-kata sederhana sarat makna yang sering terabaikan.
Di beberapa bagian, kisah ini juga sudah aku ceritakan di
hadapan siswa-siswaku di kelas secara garis besar. Sebenarnya tak ada yang
istimewa dari kisah ini. Aku hanya ingin mereka siswa-siswaku khususnya dan
pembaca semua percaya bahwa Life Will
Never Be The Same seperti judul buku yang pernah aku baca karya Davit Setiawan. Bahwa kehidupan
seseorang itu tidak boleh statis atau jalan di tempat. Apalagi terus bergelayut
dalam keterpurukan. Bahwa hampir setiap orang sukses pernah mengalami kegagalan
atau pernah mengalami masa-masa suram. Atau orang yang mempunyai keterbatasan
fisik seperti Nick Vujicic bisa
menjadi orang luar biasa melebihi orang normal. Tetapi justru dari kegagalan
atau keterbatasan seseorang akan menjadi pemacu sukses yang luar biasa. Bahwa
kehidupan seseorang memang perlu mengalami perubahan. Dari yang gagal menjadi
berhasil. Dari yang sangat terbatas menjadi sukses tanpa batas.
Sebut saja kisah ini sebagai suatu ungkapan rasa bangga dan
syukur. Karena aku dapat merasakan kebanggaan dan kebahagiaan tiada tara hanya
karena aku menjadi guru. Bukan karena tunjangan guru yang aku terima karena memang
aku bukan guru yang menerima tunjangan prestasi yang cukup menjadi bahan iri
hati bagi PNS lain selain guru. Karena aku hanya seorang guru honorer yang sangat bangga bisa menjadi
guru. Kisah ini juga menceritakan bahwa sebuah keinginan kadang tidak bisa
dicapai tepat waktu seperti yang kita inginkan. Kita harus bersabar dan terus
berjuang untuk mendapatkan yang kita inginkan.
Sejak Juli tahu 2005 aku sudah mengajar di sebuah SMA Negeri di
pinggiran kota keripik ini (Purwokerto) dengan status Guru Honorer atau Guru
Tidak Tetap disingkat GTT. Aku tidak akan menyoal mengapa aku masih menjadi
guru honorer. Walaupun justru banyak orang yang menanyakan status kepegawaianku
itu. Dan aku sadar betul kalau semua itu sudah ada yang mengatur. PP 48 tentang
Guru dan Dosen pun sudah sangat jelas mengaturnya. Hanya karena aku mulai
menjadi guru wiyata bakti di bulan Juli 2005, bukan Januari 2005. Seperti yang
sudah kutulis di atas, semua sudah menjadi kehendak Yang Kuasa.
Status guru honor yang
aku sandang sama sekali tidak membuat semangat mengajarku menjadi kendor. Tuhan
telah memberikan kesempatan buat aku untuk menjadi seorang pendidik. Itu yang
penting. Dan aku merasa sangat bersyukur bisa menjadi seorang pendidik. Menjadi
guru merupakan kepercayaan yang Tuhan amanatkan padaku dan aku harus bisa
mengembannya dengan benar. Itu yang tidak mudah.
Memang tidak mudah untuk menjadi guru. Karena guru sudah diberi
label oleh masyarakat dengan akronim GURU itu sendiri bahwa guru adalah orang
yang bisa diguGU (dipercaya
tutur-katanya) dan ditiRU (dijadikan
contoh semua perilakunya). Itu yang masih perlu jadi renungan bagiku dan
semua guru di manapun dan pada level apapun. Maka tak heran kalau aku sebagai
seorang guru sering dapat senyum separuh dari tetangga ketika mereka mendengar
berita di TV tentang perilaku guru yang bertolakan dengan label yang melekat
pada profesi seorang guru tadi. Banyak pelajaran yang mengajarkan aku untuk
terus belajar sehingga siswa dapat belajar dengan guru yang mampu mengajar dan
mendidik dengan benar.
Memang tidak bisa dipungkiri, kadang aku masih saja gundah
dengan keadaanku. Mungkin karena aku selalu teringat dengan pepatah jawa yang mengatakan life begins at forty. Benar atau tidak
pepatah itu aku tetap memikirkannya. Kalau sampai pada saatnya, tepat di usiaku
empat puluh, dan aku masih seperti ini, itu artinya aku harus menjawab bahwa
aku sudah sukses. Bukan hanya untuk menguji kebenaran pepatah tersebut. Tapi
karena memang aku sudah sukses dengan ukuranku sendiri. Atau kalau pun aku
harus menjawab aku belum sukses, itu artinya aku tidak boleh mempercayai
pepatah tersebut dan aku harus berusaha untuk berubah di sisa usiaku setelah
empat puluh. Aku harus yakin dengan kekuasaan Tuhan yang maha memberi pada
mahluknya yang terus berusaha dan mau berubah.
Sudah kurang lebih delapan tahun aku menjadi guru di usiaku yang
sudah merambah 40 tahun. Kalau dibilang
aku sudah sukses, jawabannya aku hanya sangat bersyukur dengan kondisiku
sekarang. Karena ukuran kesuksesan seseorang berbeda-beda tergantung dengan
kacamata apa kita melihatnya. Yang perlu aku syukuri adalah bahwa sudah banyak
sekali perubahan dalam kehidupanku yang aku tempuh semenjak masa kanak-kanak
hingga sekarang. Semua aku lalui dengan penuh kesabaran serta kerja keras
selama perjalanan yang membawaku sampai di sini. Semua sandungan yang menyandung, rintangan
yang menghadang, cobaan yang menerpa, dan ujian yang tanpa lembar jawab kulalui
dengan senyuman.
Sebagai pendidik aku harus tahu dan mengerti kondisi anak
didiku. Mereka adalah anak-anak yang luar biasa. Mereka memang sangat luar
biasa karena sekitar 40% dari mereka setelah lulus SMA ini harus berjuang untuk
menghadapi dunia kerja. Artinya hanya sekitar 60 persen yang dapat menikmati
bangku kuliah. Dari empat puluh persen yang tidak bisa lanjut kuliah ini, sebenarnya
ingin meneruskan jenjang yang lebih tinggi namun belenggu ekonomi tak mampu
bicara banyak. Karena itulah mereka harus menahan keinginan mereka dan tidak
ada pilihan lain yaitu bekerja. Seperti kisah yang akan aku ceritakan ini. Tentang
perjalanan panjang yang membawaku hingga di sini. Menjadi guru.
Penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar