Part 1
SEBUAH MUSIM
Berawal pada pertengahan tahun 1973, tepatnya bulan Juni tanggal
Sembilan belas, seperti yang tertulis samar pada secarik kertas putih
kecoklatan dengan tinta hitam yang sudah blur,
karena sudah termakan usia, di mana ibuku masih menyimpannya dengan rapi. Surat
kenal lahirku.
Aku sadar, tempat di mana aku dilahirkan ternyata sangat jauh
dari peradaban kota. Berada di sebuah ujung desa pegunungan di perbatasan tiga
kabupaten (Banyumas, Brebes, dan Cilacap). Jika aku mau membandingkan dengan
dulu, kini desa itu sangat berbeda. Di masa kecilku dulu aku bermain gobag sodor dan jet-jetan(petak umpat) di bawah terang bulan sangat mewarnai
kehidupan masa kecilku. Membuat mobil-mobilan dengan kulit jeruk keprok (jeruk Bali) sudah menjadi hobiku
di musim jeruk tiba. Meraut bambu hingga menjadi sebuah layang layang dan
menerbangkannya merupakan keahlianku. Membuat topeng kertas dari membentuk
cetakan tanah liat hingga menjadi topeng jadi dan siap dipakai untuk menakuti
anak-anak. Membuat pedang-pedangan dari kayu Waru dan bermain perang-perangan
dengan pedang buatan sendiri.
Semua tidak kulihat lagi seperti anak-anak kecil seusiaku dulu,
sekarang sudah tidak kenal mainan dari tanah liat, kulit jerukpun sudah tak ada
karena pembudidayaan jeruk Bali di desaku kurang mendapat tanggapan. Layang-layang
juga sudah diproduksi pabrikan. Pedang-pedangan sudah dibuat lebih menarik
terbuat dari plastik. Semua sudah tersedia dan serba instan. Anak-anak di sana
sekarang bermain playstation, main game lewat HP atau notebook. Anak-anak seusia kelas 5 atau 6 SD lebih suka
menghamburkan bensin untuk kebut-kebutan dengan motornya. Anak-anak lebih suka
berdiam diri mengirim SMS atau menuliskan status facebook daripada baca buku
cerita di perpustakaan atau buku pelajaran. Aku sadar penuh kalau ini memang
sudah jamannya. Jaman akan terus berubah. Mainan, permainan, kebiasaan, gaya
hidup, dan budaya pun bergeser. Campur tangan teknologi sangat mempengaruhi
pendidikan dan karakter anak-anak jaman sekarang. Teknologi komunikasi mampu
berbicara lebih banyak dalam merubah pola pikir dan kebudayaan anak-anak.
Kadang nasihat orang tua maupun guru sudah kurang didengar apalagi
dipraktekan.
Kembali ke masa kecilku. Musim cengkeh adalah masa di mana masa
yang paling ditunggu oleh setiap warga di desaku. Hampir semua orang
memilikinya. Dari yang hanya beberapa pohon di dekat rumahnya hingga mereka
yang memiliki berhektar-hektar di kebunnya. Semua turut berbahagia. Yang tidak
punya kebun juga ikut merasakan kebahagaiaan dengan menjadi pekerja pemetik
cengkeh. Banyak bermunculan juragan-juragan musiman. Berbagai system
dihalalkan. Ada yang pakai system ijon (dimana cengkeh baru keluar kuncup
bunga, sudah bisa dibeli dengan harga cengkeh siap panen), system tebas, dan
lain lain.
Anak-anak di musim cengkeh ikut bereuphoria. Seperti aku, setiap
pagi bangun tidur sebelum sekolah, aku langsung bertolak ke belakang rumah
untuk memungut bunga cengkeh yang berjatuhan dari pohon dalam semalam. Sebutir
sangat bernilai waktu itu. Aku memungutnya hingga dapat satu atau dua cangkir
yang digunakan sebagi timbangan. Lumayan. Cukup untuk jajan satu hari bahkan
lebih. Kantong anak-anak di desa itu rata-rata tebal, apalagi orang dewasa. Semua
serba kecukupan. Kebutuhan pangan dan sandang terpenuhi. Perkeonomian berjalan
seimbang. Nyaris tak ada kemiskinan. Mungkin bisa dikatakan kemakmuran.
Siang memetik cengkih, malam berpesta di sela sela acara
merontokan bunga cengkeh dari gagangnya. Aneka hidangan tradisional dan minuman
seperti teh dan kopi disajikan untuk menjaga mata agar tetap terjaga hingga
larut malam. Lampu patromaks berkali-kali dipompa agar tetap menyala. Akupun
terus terjaga dengan orang dewasa. Lumayan, setiap kilonya aku bisa
mengumpulkan koin Rp.25. Cukup untuk ditukar 5 buah permen. Sekarang Rp.500.
Di sudut rumah yang lain masih ada orang-orang dengan tawa dan
teriakan teriakan kemenangan atau kekalahannya bermain judi dengan kartu remi. Mereka yang kebanyakan uang atau
yang hobi akan menghamburkan uangnya hingga pagi buta bahkan ada yang sampai
siang hari. Ini adalah bagian dari mereka yang lepas kontrol dari kehingaran
musim ini.
Satu hal yang aku pikirkan saat ini, waktu itu akupun belum
terpikirkan. Dibalik melimpahnya para saudagar cengkeh, sangat jarang yang
berkesadaran akan pentingnya pendidikan. Sekolah hanya untuk mereka yang
mempunyai kesadaran wawasan maju ke depan. Sebagian besar beranggapan bahwa
sekolah hanya akan menambah beban orang tua. Menghabiskan yang sudah ada.
Itulah mengapa di saat musim cengkeh berlalu meninggalkan kita, musim
paceklikpun mulai menghantui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar