Jumat, 16 Agustus 2013

Part 1 : SEBUAH MUSIM



Part 1
SEBUAH MUSIM

Berawal pada pertengahan tahun 1973, tepatnya bulan Juni tanggal Sembilan belas, seperti yang tertulis samar pada secarik kertas putih kecoklatan dengan tinta hitam yang sudah blur, karena sudah termakan usia, di mana ibuku masih menyimpannya dengan rapi. Surat kenal lahirku.
Aku sadar, tempat di mana aku dilahirkan ternyata sangat jauh dari peradaban kota. Berada di sebuah ujung desa pegunungan di perbatasan tiga kabupaten (Banyumas, Brebes, dan Cilacap). Jika aku mau membandingkan dengan dulu, kini desa itu sangat berbeda. Di masa kecilku dulu aku bermain gobag sodor dan jet-jetan(petak umpat) di bawah terang bulan sangat mewarnai kehidupan masa kecilku. Membuat mobil-mobilan dengan kulit jeruk keprok (jeruk Bali) sudah menjadi hobiku di musim jeruk tiba. Meraut bambu hingga menjadi sebuah layang layang dan menerbangkannya merupakan keahlianku. Membuat topeng kertas dari membentuk cetakan tanah liat hingga menjadi topeng jadi dan siap dipakai untuk menakuti anak-anak. Membuat pedang-pedangan dari kayu Waru dan bermain perang-perangan dengan pedang buatan sendiri.
Semua tidak kulihat lagi seperti anak-anak kecil seusiaku dulu, sekarang sudah tidak kenal mainan dari tanah liat, kulit jerukpun sudah tak ada karena pembudidayaan jeruk Bali di desaku kurang mendapat tanggapan. Layang-layang juga sudah diproduksi pabrikan. Pedang-pedangan sudah dibuat lebih menarik terbuat dari plastik. Semua sudah tersedia dan serba instan. Anak-anak di sana sekarang bermain playstation, main game lewat HP atau notebook. Anak-anak seusia kelas 5 atau 6 SD lebih suka menghamburkan bensin untuk kebut-kebutan dengan motornya. Anak-anak lebih suka berdiam diri mengirim SMS atau menuliskan status facebook daripada baca buku cerita di perpustakaan atau buku pelajaran. Aku sadar penuh kalau ini memang sudah jamannya. Jaman akan terus berubah. Mainan, permainan, kebiasaan, gaya hidup, dan budaya pun bergeser. Campur tangan teknologi sangat mempengaruhi pendidikan dan karakter anak-anak jaman sekarang. Teknologi komunikasi mampu berbicara lebih banyak dalam merubah pola pikir dan kebudayaan anak-anak. Kadang nasihat orang tua maupun guru sudah kurang didengar apalagi dipraktekan. 
Kembali ke masa kecilku. Musim cengkeh adalah masa di mana masa yang paling ditunggu oleh setiap warga di desaku. Hampir semua orang memilikinya. Dari yang hanya beberapa pohon di dekat rumahnya hingga mereka yang memiliki berhektar-hektar di kebunnya. Semua turut berbahagia. Yang tidak punya kebun juga ikut merasakan kebahagaiaan dengan menjadi pekerja pemetik cengkeh. Banyak bermunculan juragan-juragan musiman. Berbagai system dihalalkan. Ada yang pakai system ijon (dimana cengkeh baru keluar kuncup bunga, sudah bisa dibeli dengan harga cengkeh siap panen), system tebas, dan lain lain.
Anak-anak di musim cengkeh ikut bereuphoria. Seperti aku, setiap pagi bangun tidur sebelum sekolah, aku langsung bertolak ke belakang rumah untuk memungut bunga cengkeh yang berjatuhan dari pohon dalam semalam. Sebutir sangat bernilai waktu itu. Aku memungutnya hingga dapat satu atau dua cangkir yang digunakan sebagi timbangan. Lumayan. Cukup untuk jajan satu hari bahkan lebih. Kantong anak-anak di desa itu rata-rata tebal, apalagi orang dewasa. Semua serba kecukupan. Kebutuhan pangan dan sandang terpenuhi. Perkeonomian berjalan seimbang. Nyaris tak ada kemiskinan. Mungkin bisa dikatakan kemakmuran.
Siang memetik cengkih, malam berpesta di sela sela acara merontokan bunga cengkeh dari gagangnya. Aneka hidangan tradisional dan minuman seperti teh dan kopi disajikan untuk menjaga mata agar tetap terjaga hingga larut malam. Lampu patromaks berkali-kali dipompa agar tetap menyala. Akupun terus terjaga dengan orang dewasa. Lumayan, setiap kilonya aku bisa mengumpulkan koin Rp.25. Cukup untuk ditukar 5 buah permen. Sekarang Rp.500.
Di sudut rumah yang lain masih ada orang-orang dengan tawa dan teriakan teriakan kemenangan atau kekalahannya bermain judi dengan kartu remi. Mereka yang kebanyakan uang atau yang hobi akan menghamburkan uangnya hingga pagi buta bahkan ada yang sampai siang hari. Ini adalah bagian dari mereka yang lepas kontrol dari kehingaran musim ini.
Satu hal yang aku pikirkan saat ini, waktu itu akupun belum terpikirkan. Dibalik melimpahnya para saudagar cengkeh, sangat jarang yang berkesadaran akan pentingnya pendidikan. Sekolah hanya untuk mereka yang mempunyai kesadaran wawasan maju ke depan. Sebagian besar beranggapan bahwa sekolah hanya akan menambah beban orang tua. Menghabiskan yang sudah ada. Itulah mengapa di saat musim cengkeh berlalu meninggalkan kita, musim paceklikpun mulai menghantui.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar